26.5 C
Mataram
Selasa, 21 Mei 2024
BerandaLombok BaratKekhawatiran Perempuan di Lingkar Proyek Bendungan Meninting, Kehilangan Akses Air Bersih hingga...

Kekhawatiran Perempuan di Lingkar Proyek Bendungan Meninting, Kehilangan Akses Air Bersih hingga Dampak Panjang Kesehatan

Lombok Barat (Inside Lombok) – Para perempuan di Desa Gegerung dan Desa Dasan Geria, Kecamatan Lingsar sebagai daerah lingkar proyek Bendungan Meninting mengeluhkan nasib mereka yang terdampak oleh pengerjaan bendungan tersebut. Terlebih adanya proyek itu menyebabkan hilangnya akses air bersih mereka.

Kondisi ini terungkap setelah Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Mataram melakukan upaya identifikasi dan pemetaan atas dampak yang ditimbulkan dari Proyek Strategis Nasional (PSN) pengerjaan Bendungan Meninting. Para perempuan di dua desa tersebut khawatir kondisi lingkungan mereka saat ini akan membawa dampak yang berkepanjangan, hingga mempengaruhi kesehatan.

“Bagaimana perempuan kemudian tiba-tiba kehilangan air bersihnya, yang bagi kita air bersih itu kan hak asasi manusia, dan hak asasi untuk hidup,” ujar Ketua Solidaritas Perempuan Mataram, Nurul Utami di sela-sela acara Focus Group Discussion, Senin (5/2/2204).

Akibat tidak terpenuhinya kebutuhan air bersih yang menjadi sumber kehidupan itu, pihaknya pun menilai proyek tersebut tidak memenuhi hak asasi perempuan. Nurul menuturkan, dari pengakuan para perempuan di lingkar proyek itu, mereka diberikan solusi dengan dibangunkan sumur bor oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) selaku pihak yang memiliki kewenangan atas proyek tersebut. Namun, nyatanya hingga saat ini sumur tersebut diakuinya justru tak berfungsi.

- Advertisement -

“Pembangunan sumur bor itu di ujung dusun, sementara yang harus menggunakan itu misalnya 700 kepala keluarga (KK). Setiap pagi perempuan-perempuan harus mengambil air ke situ, dan ternyata sampai saat ini, sumur itu tidak berfungsi,” bebernya.

Kondisi ini pun justru dianggap menambah beban kerja perempuan, selain mereka bertanggung jawab untuk pekerjaan rumah seperti memasak dan mencuci, kini mereka juga terpaksa harus memenuhi kebutuhan air bersih untuk keluarganya. “Kalau dulu kan mereka tinggal buka keran, sudah ada air bersih tersedia. Tapi kalau sekarang, airnya keruh, berlumpur,” ungkap dia.

Pihaknya juga menyoroti krisis air bersih itu rawan berdampak terhadap kesehatan perempuan, terutama yang berkaitan dengan organ reproduksi. “Kita bayangkan kalau itu yang digunakan (untuk bersih-bersih) oleh perempuan ketika haid atau melahirkan. Apa yang terjadi? Ini kan berdampak ke organ reproduksi perempuan,” lanjutnya.

Keluhan itu pun telah didengarnya langsung dari bidan desa yang ada di kawasan lingkar proyek tersebut. Di mana saat ini, pihaknya sudah menerima keluhan soal kekhawatiran dari 100 orang responden perempuan yang terdampak. Angka itu pun diprediksinya akan terus meningkat.

“Kalau kita terus gali, angka ini pasti akan lebih banyak lagi. Nah, ketika lebih banyak lagi yang bersuara, maka akan lebih banyak juga yang menyampaikan hal serupa,” imbuhnya. Pihaknya pun menilai pemerintah layak dituntut untuk bertanggung jawab atas dampak dari proyek strategis mereka tersebut.

Menurutnya, salah satu solusi yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan memberikan masyarakat bantuan air bersih yang disalurkan oleh pemerintah. Terlebih dampak dari proyek ini dikhawatirkan akan terjadi berkepanjangan, hingga turut juga berdampak terhadap perekonomian warga yang saat ini sudah kehilangan bahan baku untuk membuat banyak hal, seperti sapu ijuk hingga gula aren, lantaran hutan di kawasan mereka yang sudah beralih fungsi menjadi proyek bendungan tersebut.

“Proyek ini kan tidak selesai sampai di sini, jangan sampai (persoalan ini) terulang lagi. Persoalan perempuan teratasi, persoalan air teratasi, persoalan ekonominya juga,” harap Nurul. (yud)

- Advertisement -

Berita Populer