Pemilih perempuan memiliki peran penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Sebagai warga negara yang memiliki hak suara, pemilih perempuan berperan aktif dalam menentukan siapa yang akan memimpin negara atau wilayah tempat tinggalnya.
Data KPU RI, hasil Pemilu 2019 lalu. Partisipasi pemilih pada Pemilu Serentak 2019 mencapai mencapai 81,6 persen, atau naik dari angka Pemilu 2014 sebesar 75,2 persen. Sebelumnya, angka partisipasi pemilu terbilang rendah diikuti tren golput yang terus meninggi. Saat Pemilu 2009, angka partisipasi terbilang rendah yakni 70,9 persen diikuti golput yang cukup tinggi, 29,1 persen. Salah satunya, perempuan memiliki peran besar dalam demokrasi di indonesia.
Peran serta pemilih perempuan sangatlah penting dalam proses pemilihan umum. Dengan menggunakan hak suaranya, pemilih perempuan dapat memberikan suara mereka untuk memilih pemimpin yang memiliki visi dan misi yang sama dengan mereka. Pemilih perempuan juga dapat memilih pemimpin yang memiliki komitmen yang tinggi dalam memajukan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.
Selain itu, peran serta pemilih perempuan dapat membantu mengurangi ketimpangan gender di dalam struktur kekuasaan. Dalam sejarah, banyak negara yang hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki pemimpin perempuan. Dengan pemilih perempuan yang aktif dan sadar, peluang bagi perempuan untuk memimpin dapat meningkat.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk terus meningkatkan kesadaran tentang peran serta pemilih perempuan dalam pemilihan umum. Pemilih perempuan harus diberikan akses yang sama dengan pemilih laki-laki dalam memperoleh informasi dan mendapatkan pendidikan politik yang berkualitas. Dengan demikian, pemilih perempuan dapat mengambil keputusan yang tepat dalam memilih pemimpin yang mampu memajukan negara atau wilayah tempat tinggal mereka.
Secara keseluruhan, peran serta pemilih perempuan sangatlah penting dalam proses demokrasi. Pemilih perempuan memiliki hak yang sama dengan pemilih laki-laki untuk menentukan arah kebijakan politik yang akan diambil oleh pemimpin yang terpilih. Oleh karena itu, pemilih perempuan harus terus didorong untuk aktif berpartisipasi dalam pemilihan umum dan terlibat dalam mengawasi kinerja pemimpin yang terpilih.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia pada Pemilu 2019, terdapat sekitar 70,5 juta pemilih perempuan atau sekitar 49,73 persen dari total pemilih di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pemilih perempuan di Indonesia cukup signifikan dan memiliki potensi besar dalam menentukan hasil pemilihan umum.
Namun, meskipun jumlah pemilih perempuan cukup besar, masih terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh pemilih perempuan dalam proses pemilihan umum. Salah satunya adalah masih terdapat kesenjangan gender dalam akses informasi dan partisipasi politik, sehingga peran serta pemilih perempuan belum optimal.
Selain itu, masih terdapat kendala dalam hal pengambilan keputusan di lingkungan keluarga yang mempengaruhi partisipasi politik pemilih perempuan. Keterbatasan waktu dan kesulitan mencari informasi yang akurat serta tekanan sosial dari lingkungan sekitar juga menjadi faktor yang mempengaruhi partisipasi politik pemilih perempuan.
Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu terus mendorong partisipasi politik pemilih perempuan dengan memberikan akses yang sama dengan pemilih laki-laki dalam mendapatkan informasi dan pendidikan politik yang berkualitas. Selain itu, peningkatan kesadaran gender dan pendidikan politik yang lebih baik juga dapat membantu mengatasi kesenjangan partisipasi politik antara pemilih perempuan dan laki-laki.
Negara yang menganut paham demokrasi, pemilihan umum merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan (Gaffar, 2013).Dalam pemilihan umum, partisipasi politik merupakan hal yang sangat penting, dimana sekelompok warga negara ikut terlibat dalam proses politik dalam memilih pemimpin negara, anggota legislatif dan pemimpin daerah (Surbakti, 1992). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat serta telah menetapkan bahwa setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan (Pasal 55 ayat 2).
Tujuannya adalah untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik. Dalam sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia, setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Ada anggapan bahwa, besarnya jumlah pemilih perempuan seharusnya linier dengan keterwakilan perempuan khususnya.
Perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang ikut memilih, memiliki pola perilaku politik tertentu. Tindakan, sikap, dan juga perilaku politik seseorang, merupakan bentuk dari bangunan kognitif dan pemahaman yang terbentuk melalui proses yang panjang. Komponen orientasi kognitif berasal dari tingkat pengetahuan pemilih perempuan mengenai tokoh-tokoh, atau aktor-aktor pemerintah, simbol-simbol negara, simbol-simbol politik, jalannya pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang diambil mereka. Orientasi afektif berbicara tentang perasaan perempuan terhadap aspek-aspek politik.
Dikutip dari hasil, riset Fisipol UGM (https:DepartemenPolitikdanPemerintahanUGM), isu terkait dengan partisipasi perempuan dalam pemilu banyak terkait dengan pertanyaan apakah sistem pemilu sudah menerapkan struktur kesempatan. Walaupun Indonesia sudah mempunyai desain pemilu untuk meningkatkan partisipasi perempuan, seperti kewajiban 30 persen dalam pencalonan kandidat anggota dewan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat partisipasi perempuan yang rendah. Dalam survey yang dilakukan World Economic Forum misalnya, Indonesia menempati 97 dari 150 negara terkait dengan angka ketimpangan gender. Lebih lanjut, angka keterwakilan Indonesia ada di peringkat tujuh di kawasan Asia Tenggara, ada di angka 16 persen. Di kawasan Asia Tenggara, keterwakilan perempuan tertinggi di parlemen justru ada di Timor Leste, sebuah Negara paling muda di kawasan ini.
Sementara itu, rendahnya angka keterwakilan perempuan di beberapa Negara maju karena adanya saluran lain di luar jalur-jalur parlementer. Civil society ke Negara maju mempunyai akses yang luas. Artinya, selain politik elektoral, jalur-jalur civil society juga perlu diperkuat. Dalam riset DPP UGM, yang kemudian diterbitkan ke dalam buku “Reclaiming State” menjelaskan bagaimana gerakan masyarakat sipil berusaha untuk melakukan klaim kembali atas Negara.
Di sisi lain riset-riset juga masih sangat kurang dalam melihat partisipasi perempuan dalam politik karena yang perlu dikembangkan adalah kajian-kajian yang massif soal isu ini. Studi terakhir mencatat bahwa tingginya tingkat partisipasi perempuan di Pemilu Gubernur Jakarta kemarin hanya menempatkan perempuan sebagai pemilih. Faktornya adalah karena perempuan menjadi sasaran sosialisasi yang hanya terkait dengan hal teknis. Seperti kampanye kandidat yang banyak menyasar kelompok perempuan seperti kelompok pengajian atau majelis ibu-ibu. Padahal hal yang lebih penting adalah bagaimana peran perempuan sebelum dan setelah pemilu, ketika tingkat keterwakilan substantive perempuan masih kurang. Hanya 10 perempuan aktivis yang terpilih.
Untuk rekrutmen penyelenggara sendiri, berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011 dalam aturan menyebutkan minimal 30 persen di penyelenggara nasional maupun lokal. Secara praktek di lapangan tidak sampai 30 persen. Hanya 1 dari tujuh anggota dari KPU Pusat yang perempuan, dan hanya 30 dari 170 anggota KPUD yang perempuan. Namun demikian, penyelenggara pemilu di Jogja mempunyai anggota perempuan yang secara kapasitas cukup kuat. Di Jogja ini adalah kota yang mempunyai gerakan masyarakat sipil yang berkembang. Hal ini yang menjelaskan penyelenggara pemilu dari perempuan mempunyai kapasitas yang lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Tapi kita perlu juga melakukan eksplorasi dan riset-riset terkait dengan keterwakilan perempuan di penyelenggara sehingga tidak terjebak dengan diskursus partisipasi perempuan di lembaga perwakilan. (*)
Artikel ini ditulis oleh Nurayani, seorang Aktivis Perempuan di Kota Mataram.