Mimpi Pertama
Nupil bekerja di penerbit indie sebagai editor tetap. Hidupnya cukup mapan dan tidak memikirkan uang. Ia juga tidak harus bekerja di kantor sebab pekerjaanya bisa dilakukan di mana saja.
Pukul 1 siang Nupil berkunjung ke rumahku. Seperti biasa ia minta kopi. Nupil mengeluarkan laptop, memasang kacamata anti radiasi, menggunakan headset, dan memutar lagu di playlist Spotify.
Aku menyodorkan kopi di atas meja. Nupil akan duduk selama tiga jam. Bekerja. Sesekali menghirup kopi. Sesekali menyulut rokok. Aku mengenal Nupil sejak SD. Ia pembaca yang baik dan disukai guru karena sikapnya yang ramah.
Nupil berhenti bekerja. Menutup laptop. Matanya memicing seperti melihat hantu. Wajahnya mengeras, garis mukanya kasar serta alis runcing. Aku berdiri, mundur empat langkah.
“Kebakaran…. Kebakaran…. Kebakaran….” Nupil bertingkah seperti melihat api. Ia menepuk-nepuk lengan kanan seolah percikan api mengenainya. Nupil berlari. Meloncat ke dalam sungai.
Esoknya aku mendengar kabar dari teman Nupil bahwa penerbit tempat ia bekerja kebakaran. Aku mengecek kevalidan kabar tersebut, dan benar. Kantor penerbit indie tempat Nupil bekerja hangus. Tanpa sisa. Tanpa buku-buku terselamatkan. Seorang lelaki muda yang tinggal di dalam penerbit menuturkan, “Saat kebakaran terjadi, Nupil keluar dari dalam seolah tidak terjadi apa-apa.”
Mimpi Kedua
Setelah kantor penerbit kebakaran, Nupil memutuskan menjual koleksi buku-buku lamanya pada kenalannya di Jakarta. Banyak dari mereka membeli koleksi bukunya lebih dari satu dan tidak jarang memberi uang lebih.
Aku baru saja selesai mandi. Melihat Nupil datang tanpa membawa laptop dan buku, aku segera membuatkan kopi. Ia duduk di kursi yang sama. Mengetuk-ketuk meja. Aku datang membawa kopi.
“Aku butuh bantuanmu, bro,” katanya dengan mimik serius.
“Bantuan apa?”
“Aku butuh uang 5 juta.”
Uang 5 juta memang bukan angka yang banyak dan aku masih ada lebih di tabungan. Akan tetapi uang itu akan digunakan untuk kelahiran anakku, dan tentu banyak kebutuhan yang lain. Melihat wajah melas Nupil, aku tidak berdaya menolaknya. “Tunggu di sini,” ujarku. Aku kembali ke dalam, mengambil uang simpanan di bawah kasur; tersisa 10 juta. Aku kembali dan menyerahkan amplop pada Nupil.
“Secepatnya aku kembalikan, bro. Aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi. Aku sudah jual semua koleksi bukuku tapi masih belum cukup,” ujarnya, kemudian tiba-tiba berhenti, menyeruput kopi. “Akhir-akhir ini banyak hal terjadi. Namun tidak kupahami seolah aku tinggal di dunia lain. Karena satu sebab yang masih aku ragukan, pacarku datang ke kos dan memberi hasil tes kehamilan. Dia positif.
Jika kau menanyakan sebabnya, aku sendiri tidak tahu. Sebab setiap aku bercinta denganya aku tidak lupa memakai kondom. Namun sebelum pacarku datang, aku bermimpi bercinta dengannya dan sosok misterius keluar dari goa; diriku sendiri. Hal ini yang membuatku ganjil.”
Nupil berhenti. Untuk beberapa saat suasana beku. Ia mengambil rokok, asap mengepul di depan wajahnya. Aku pergi ke belakang mengambil keripik. Saat kembali Nupil telah pergi. Dia tidak pernah kembali. Aku tidak dapat menghubunginya. Satu tahun berlalu, dua tahun terlewati, anakku sudah lahir dan kini genap berusia enam tahun, tetapi Nupil tidak pernah muncul. Ia seperti terhisap oleh dimensi waktu.
Mimpi Ketiga
Tatkala keyakinanku mengatakan Nupil telah meninggal, ia datang ke rumah dengan tubuh lebih kurus, wajah pucat, dan pipi cekung. Aku memberinya kopi. Ia menatap cangkir, asap rokok membumbung. Tatapannya kosong dan wajahnya pucat. Ia bukan Nupil yang kukenal. Aku menyulut kretek. Ia mengambil cangkir dan membuang kopi.
“Aku tahu kau sudah mencampur kopi ini dengan racun.”
Ia berdiri. Menatapku dengan mata gagak. Aku melihat punggungnya bengkok seperti mata pancing. Ia berjalan selambat kakek-kakek. Setelah berjalan dua meter ia berhenti, mengaso. Mengambil nafas panjang. Seakan mendapat ilham ia kembali dan duduk di kursi yang menyisakan kehangatan.
“Maaf, aku tidak ingat apa yang terjadi dan mengapa kopiku habis tapi bisakah kamu buatkan kopi lagi? Aku sudah sering merepotkanmu, maaf.”
Aku sudah tahu apa yang akan terjadi jika penyakitnya mulat. Hal terburuk jika ia hendak membunuhku dengan pisau lipat. Aku kembali ke dalam, membuat kopi baru dan memberikannya.
“Aku sungguh minta maaf atas kejadian barusan. Tapi ada satu hal yang harus kusampaikan padamu sebelum waktu itu tiba.”
Nupil menghirup kopi. Mengeluarkan rokok Marlboro lantas menyulutnya.
“Hari Minggu saat misa di gereja, kau membunuhku di depan altar,” kata Nupil bersungguh-sungguh. Tidak ada keraguan dalam kata-katanya. Matanya yang redup berbinar. Ia menghirup kopi. Menghisap rokok lalu menghembuskan asap dari mulutnya.
Tanpa disadari aku menonjok pipi Nupil hingga ia tergeletak. Kedua tanganku seperti mesin yang hilang kontrol, memukuli Nupil tak ada habisnya. Sampai wajahnya lebam. Sampai hidung dan bibirnya berdarah, aku tetap memukulnya.
Potoan, 11-07-2020
Fahrul Rozi, lahir di Bekasi. Tukang cuci piring di PPM Hasyim Asya’ari.