Mataram (Inside Lombok) – Dinas Pertanian Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, mulai melaksanakan program pembangunan sumur dangkal di sejumlah kelompok tani yang berada di kawasan rawan kekeringan dengan total anggaran Rp1,0 miliar.
“Progres pembangunan sumur dangkal sampai saat ini sudah mencapai sekitar 50 persen dari 50 titik lokasi yang kami rencanakan tahun ini,” kata Kepala Dinas Pertanian Kota Mataram H Mutawalli di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu.
Dikatakan, program pengadaan sumur dangkal adalah memberikan bantuan berupa pembuatan sumur dangkal untuk kelompok tani yang berada di kawasan rawan kekeringan termasuk mesin sedor air sampai saat ini sudah mencapai ratusan titik.
“Selain kami berikan ke petani yang berada kawasan rawan kekeringan, kami juga berikan kepada kelompok tani lainnya yang membutuhkan,” katanya.
Mutawalli menyebutkan persawahan yang rawan kekeringan di Kota Mataram rata-rata berada di bagian utara Kota Mataram dari ujung Ampenan hingga ke wilayah Cakranegara.
Dari puluhan hektare lahan pertanian di bagian utara, prioritas titik rawan kering ada di kawasan Rembiga dan Sayang-Sayang dengan luas sekitar 10 hektare.
Namun demikian, lanjutnya, kondisi rawan kekeringan di Kota Mataram tidak seperti di daerah-daerah lain yang lahannya tidak bisa sama sekali digarap apalagi untuk bercocok tanam.
“Rawan keringnya persawahan di Mataram, masih bisa untuk menanam palawija karena untuk palawija hanya membutuhkan air sekali aja,” katanya.
Oleh karena itu, kata Mutawalli, meskipun Mataram memiliki kawasan rawan kering tetapi hingga saat ini belum ada petani yang mengalami gagal panen akibat kekeringan pada setiap musim kemarau panjang di kota ini.
Berdasarkan data itu terakhir pada Agustus 2018 dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), lahan pertanian Mataram saat ini tersisa sekitar 1.500 hektare.
Data BPN ini lebih rendah dari data sisa lahan pertanian berdasarkan kelompok tani dan Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Mataram. Berdasarkan data dari kelompok tani Mataram lahan pertanian di Kota Mataram saat ini tersisa sebanyak 1.888 hektare. Sementara berdasarkan data foto satelit Bappeda tahun 2016 tercatat 1.600 hektare.
“Jadi yang kami gunakan data dari BPN, karena merupakan data terbaru,” ujarnya.
Ia mengatakan, jumlah lahan pertanian di Kota Mataram dari tahun ke tahun terus menurun. Hal itu disebabkan tingginya aktivitas alih fungsi lahan, di mana aktivitas alih fungsi lahan hingga akhir tahun ini tercatat sekitar 41 hektare.
“Tapi, kalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, alih fungsi lahan tahun ini relatif rendah karena belum adanya pengesahan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),” katanya. (Ant)