Mataram (Inside Lombok) – Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat mengagendakan pelimpahan tersangka dan barang bukti atau tahap dua kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) hasil penipuan investor untuk kawasan wisata di Pulau Lombok.
“Karena berkasnya sudah dinyatakan lengkap oleh jaksa peneliti, dalam waktu dekat kami laksanakan tahap dua-nya. Sudah kita agendakan,” kata Dirreskrimsus Polda NTB Kombes Pol I Gusti Putu Gede Ekawana di Mataram, Kamis.
Tersangka yang berkasnya telah dinyatakan lengkap ini adalah Zaenudin. Sebagai tersangka, Zaenudin diduga melanggar Pasal 3 Juncto Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Terkait dengan kasus yang menahan tersangka dugaan pencucian uang hasil penipuan investor ini, penasihat hukum Zaenudin, M Zihan Febriza mengklaim bahwa kliennya dia tidak bersalah.
Aset pribadi berupa sertifikat lahan, rumah dan juga kendaraan roda empat milik kliennya yang disita dalam kasus pencucian uang diyakini Zihan bukan merupakan hasil penipuan.
“Karena aset pribadi milik klien kami yang disita penyidik itu tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan jual beli lahan dengan pelapor,” kata Zihan didampingi rekan penasihat hukum lainnya, Zaenul Bakri.
Karena menurutnya, uang pelapor untuk pembelian sejumlah bidang lahan yang tersebar masif di Pulau Lombok itu sudah melalui perjanjian kesepakatan yang sah di tahun 2014.
“Bahkan ada sekitar 15 SHM (sertifikat hak milik) sudah mengatasnamakan pelapor, itu sudah diberikan oleh klien kami,” ujarnya.
Begitu juga dengan alas hak dari lahan seluas 4 hektare di wilayah Pandanan, Kabupaten Lombok Barat, yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Zaenudin terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana penipuan dan menghukum kliennya dengan pidana penjara selama tiga tahun.
Dalam putusannya di tahun 2016 itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram menyatakan bahwa perbuatan Zaenudin telah mengakibatkan pelapor mengalami kerugian Rp10 miliar sesuai harga lahan di Pandanan.
Selain pidana umum, Zaenudin juga diminta untuk membayar kerugian Rp16,295 miliar kepada pelapor sesuai dengan putusan perdata pada Pengadilan Negeri Mataram Nomor: 31/Pdt.G/2020/PN.Mtr.
“Dua putusan ini yang kemudian menjadi dasar pelapor melanjutkannya ke tindak pidana pencucian uang,” ujarnya.
Terkait dengan putusan pidana umumnya, Zihan menyayangkan langkah penyidik kepolisian pada Ditreskrimum Polda NTB yang tidak mengungkap keabsahan dari alas hak lahan di Pandanan yang kini dikuasai PT GWS berupa sertifikat hak guna bangunan (sHGB).
Menurut hasil penelusuran fakta di lapangan, alas hak dengan nomor 40 itu, kata dia, diterbitkan berdasarkan pipil nomor 4409 pada tahun 1979.
“Setelah kita cek, faktanya pipil nomor 4409 itu palsu dan tidak ada asal-usulnya,” ujarnya.
Sedangkan untuk alas hak atas kepemilikan lahan yang aslinya, lanjut dia, masih di pegang oleh tersangka dan pernah dihadirkan ke hadapan penyidik. Namun demikian, alas hak berupa pipil tahun 1961 itu tidak juga diungkap di persidangan.
Bahkan, bukti kepemilikan tersebut yang menjadi dasar tersangka menjualnya kepada pelapor yang dikatakan Zihan hanya berperan sebagai nominee (pinjam nama) dari penyandang dana asal Amerika bernama Steven.
“Jadi lahan di Pandanan itu bagian dari konversi sejumlah bidang lahan dalam perjanjiannya dengan pelapor,” kata Zihan.
Pembelian bidang lahan oleh pelapor bernama Andry Setiadi Karyadi dikatakan Zihan muncul sejak tahun 2011. Ada sebanyak 20 lebih bidang lahan yang ingin dibeli oleh pelapor. Kalau dihargakan, kata dia, nilainya mencapai Rp50 miliar.
“Pada tahun 2011 itu pelapor mulai membayar, tapi bayar sebagian, nilainya Rp18 miliar dari total Rp50 miliar. Sisanya dijanjikan setelah semua sertifikat diserahkan,” ucapnya.
Kemudian ada terjadi konversi beberapa bidang lahan di tahun 2012, salah satunya masuk lahan Pandanan yang diinginkan oleh pelapor.
“Sampai akhirnya mereka sepakat membuat sebuah perjanjian jual beli yang terjadi pada Maret 2014,” ujarnya.
Dari fakta temuan di lapangan ini, tim penasihat hukum Zaenudin kini sedang mengambil upaya hukum perdata di Pengadilan Negeri Mataram.
Penasihat hukum Zaenudin menggugat perdata untuk persoalan alas hak di lahan Pandanan yang kini dikuasai PT GWS.
Dengan keyakinan menang dalam gugatan perdata, tim penasihat hukum Zaenudin selanjutnya akan menjadikan putusan tersebut sebagai novum (bukti baru) Peninjauan Kembali (PK) untuk putusan tindak pidana penipuan pada Pengadilan Negeri Mataram Nomor: 5/Pid.B/2019/PN.Mtr.
“Jadi sekarang kami ikuti prosedur penanganan yang sedang berjalan. Tapi kita tetap meyakini bahwa klien kami, Zaenudin ini adalah korban. Yang jelas, upaya hukum ini tidak akan berhenti di sini sampai hukum yang berkeadilan sempurna sudah ditegakkan,” kata Zihan. (Ant)