Lombok Barat (Inside Lombok) – Wakil ketua DPRD Lombok Barat, Hj. Nurul Adha beri penegasan supaya beragam inovasi yang sudah ada di Lombok Barat agar lebih dibarengi lagi dengan kolaborasi antara OPD yang ada. Termasuk dalam menyelesaikan data warga miskin yang butuh bantuan, serta pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan.
Hal itu disampaikannya usai menerima hearing dari LSM Koalisi Bersama Rakyat (Kobar) bersama dengan para operator desa yang mempertanyakan keseriusan Dinsos, Dikes, Dukcapil dan pihak BPJS dalam menyelesaikan validasi data warga miskin yang menerima PBI (Penerima Bantuan Iuran) jaminan kesehatan bagi fakir miskin.
“Tapi tadi sudah dijelaskan oleh Dinsos dan Dukcapil bahwa memang data ini sedang dilakukan verifikasi” ujarnya, saat ditemui usai hearing di gedung DPRD Lobar, Selasa (20/04/2021).
Di mana dari 92 ribu jatah yang diperoleh Lobar untuk mendapatkan PBI, data yang sudah bisa terverifikasi baru 74 ribu. Sementara sisanya saat ini masih dalam verifikasi dan validasi data.
“Dari data warga miskin kita yang 121 ribu, yang sudah tercover PBI kan jatahnya 92 ribu. Jadi sisa yang 29 ribu itu, solusinya rencananya akan diselesaikan melalui anggaran Bansos kesehatan yang tahun ini hanya dapat Rp 1,5 miliar dan itu sangat sedikit” beber Adha.
“Nah sisa dari 92 ribu dan dikurangi 74 ribu itu sedang diproses” imbuhnya.
Selain itu, persoalan yang turut disuarakan dalam hearing tersebut berkaitan dengan honor operator desa yang membantu Dinsos dalam memvalidasi dan verifikasi data warga kurang mampu di masing-masing desa, saat ini belum jelas dan dinilai masih belum layak. Bahkan, kata Adha, ada operator yang mengungkapkan bahwa perbulannya dia hanya menerima gaji Rp 180 ribu.
“Ini kan jauh sekali dari kesejahteraan, kasian mereka harus menyelesaikan data kemiskinan tapi mereka sendiri juga masih belum menerima gaji yang layak” ketus politisi perempuan asal Kediri ini.
Namun terkait hal itu, kata Adha, dalam hearing itu Dinsos menunjukkan adanya surat yang telah ditandatangani oleh Sekda mengenai peraturan menteri desa. Yang menjabarkan bahwa operator desa itu seharusnya mendapatkan gaji yang dianggarkan dari dana desa yang berjumlah sekitar Rp 10 juta hingga Rp 12 juta pertahunnya.
“Tapi banyak desa yang belum menindaklanjuti surat ini” ujarnya.
Sehingga dari beragam inovasi yan digagas oleh Lombok Barat, itu harus dibarengi dengan kolaborasi. Karena kolaborasi ini dinilai dapat menjadi solusi dan perlu lebih dimantapkan lagi.
“Kolaborasi ini yang perlu dimantapkan lagi dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) yang harus dilibatkan. Supaya surat itu bisa ditindaklanjuti oleh seluruh kepala desa” tegas Adha.
Hal itu pun dinilai perlu dikaji bersama, bila memang dana desa tidak mampu untuk menganggarkan gaji operator. Maka dalam hal ini Pemda menurutnya harus turut serta terlibat.