Dalam sebuah kelas menulis, aku mendapat tugas menuliskan pengalamanku terhadap dapur. Sebagai sebuah tugas, sekilas mungkin ini kelihatan biasa-biasa saja, sepertinya tidak akan ada kendala karena setiap orang tentu pernah berurusan dengan dapur sebagai tempat produksi makanan, pun bagian dari kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi beberapa saat kemudian aku baru menyadari satu hal: aku tidak punya pengalaman yang intens dengan dapurku sendiri. Aku bukan orang yang gemar memasak, meski sesekali aku juga iseng mengacak-acak dapur—bukan karena gemar, tapi lebih karena situasi dan tuntutan rasa lapar yang sering kali tak bisa kutahan.
Berkaca dari itu, menurutku keluargaku—juga keluarga suku Sasak pada umumnya—lebih menyerahkan, atau mungkin lebih tepatnya membebankan, seluruh urusan dapur sehari-hari kepada anggota keluarga perempuan daripada ke yang laki-laki. Entah itu nenek, ibu, ataupun saudara perempuan; bahkan jika masih ada tersisa seorang perempuan, meski misalnya ia keponakan yang paling kecil, pantang bagi aku atau laki-laki lain di dalam keluarga untuk mengurus dapur.
Mengingat ini semua, rasa malu menggerogoti diriku. Aku merasa noaq menulis tentang dapur kali ini, tapi akan tetap kutulis sesuai kedekatanku pribadi.
Dapur rumahku memiliki bentuk dan tata letak yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Aku masih ingat, ketika dulu masih kanak-kanak, ruang yang dalam bahasa Sasak disebut pawon ini letaknya terpisah dari rumah. Entah apa alasannya, tetapi mungkin karena itu pulalah kami juga sering menyebutnya pondok. Tata letak dapur semacam itu tak hanya ada di rumahku, tetapi juga di tetangga-tetangga sekitar rumah.
Tata letak yang terpisah tersebut membuatku berpikir, jangan-jangan itulah representasi posisi dan otoritas perempuan dalam sebuah keluarga. Aku memang tak pernah mempertanyakan secara langsung apakah perempuan-perempuan dalam keluargaku menginginkan posisi itu, atau menerima tugasnya dengan lapang dada, atau apakah mereka dalam hati kecilnya merasa terkungkung dengan tanggung jawab tersebut. Namun, aku selalu merasa apa pun yang keluar dari dapur—masakan hasil olahan tangan mereka, tak pernah ada ungkapan kekecewaan di dalamnya
Tidak ada. Mulai dari kudapan untuk sarapan di pagi hari sampai dengan hidangan makan malam; pun, dari menu sederhana, sekadar sambel sebur kelaq siaq, sampai dengan hidangan mewah seperti kandoq gawe. Sesekali mungkin nenek, ibu, atau adikku memasak santapan yang (menurutku) terlalu asin, terlalu pedas, atau hambar, tetapi itu semua seperti tertutupi dengan dedikasi mereka dalam menghidangkan masakan setiap hari.
Kembali ke tata letak dapur: seiring berjalannya waktu, pun perkembangan ekonomi keluargaku, dibarengi pula dengan perkembangan gaya dan selera arsitektur di lingkunganku, rumah ini mulai direnovasi akbar sesuai kebutuhan. Perubahan bentuknya terjadi di sana-sini, dan yang paling mencolok adalah ruang dapur. Ia kini berada di dalam rumah, meski letaknya begitu privat, yakni di bagian paling belakang.
Dari perubahan tersebut aku sadar bahwa kini modernitas telah sampai kemari, dan hal tersebut bukan tanpa persoalan—yang ternyata mengekor di belakangnya. Modernisasi, yang bagiku terkesan tergesa-gesa ini, membuat aku beserta keluarga kebingungan terhadap identitas. Secara penampilan memang berubah, tapi perilaku belumlah berubah sama sekali. Modernisasi telah mengacak-acak dapur kami.
Sebuah dapur bertata letak modern ternyata tak serta-merta mengubah tata cara memasak para perempuan di rumahku. Nilai-nilai tradisional tetap dijunjung dalam peracikan bumbu ramuan masak, pun penggunaan alat memasak. Itu semua, bagiku, sangat membingungkan.
Bertolak ke tugas perempuan di dapur, kini setelah aku menikah dan tinggal terpisah dengan keluarga besar, ternyata tugas mengurus dapur tetap tak terlimpahkan kepadaku. Dapur dan seluruh isinya masih sepenuhnya diatur oleh istriku. Memang, tak ada—dan mungkin tak akan pernah ada—aturan tentang siapa yang berhak atas dapur, dan di keluargaku para perempuanlah yang seutuhnya berhak.
Di masyarakat modern, “Kodrat perempuan itu di dapur, sumur, dan kasur!” merupakan nilai yang telah usang dan terbelakang; terlebih bagi para pengadvokasi nilai-nilai feminisme. Bagi mereka, mengidentikkan perempuan hanya melalui tiga hal di atas merupakan sebuah pengerdilan terhadap martabat perempuan sebagai manusia yang sejatinya berkedudukan sama dengan laki-laki.
Kritik di atas mungkin saja benar, tetapi bagiku tak bisa dipukul rata secara mutlak. Aku menyaksikan sejumlah perempuan yang secara sadar memilih aktif di dapur. Mereka punya kuasa untuk mengatur dan menyeleksi siapa yang berhak membantu mereka di sana. Dari sudut pandang itu, bukankah justru mereka tampak bermartabat tinggi?
Ini masalah kesadaran memilih. Namun, sekali lagi, kesaksianku di atas tak bisa juga dipukul rata, apalagi menjadi standar baru dalam urusan dapur semua orang. Aku jadi ingat Delicious, sebuah film yang berkisah tentang koki handal bernama Pierre Manceron. Ia adalah seorang koki yang membangun restoran pertama di Prancis bersama asisten sekaligus muridnya, seorang perempuan bernama Louise. Pierre Manceron membangun restoran tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap para bangsawan Eropa, terutama tuannya: Duke of Chamfort, yang memaksanya meminta maaf hanya karena telah membuat masakan baru dari kentang, dan mengubah menu yang sudah ditetapkan.
Di Eropa, pada waktu itu, urusan dapur dan penentuan koki secara dominan diurus oleh laki-laki. Bagi mereka, yang mampu menghargai sebuah masakan hanyalah para raja dan kalangan bangsawan—yang di mana mereka semua adalah laki-laki. Maka, yang berhak mencicipi atau pun menyantap menu hidangan koki hanyalah kalangan mereka saja.
Hal di atas tentulah berbanding terbalik dengan kondisi dan peran perempuan di dapurku. Di sini, mereka berkuasa atas ruang sumber makanan tersebut. Mereka bebas bereksplorasi dan bereksperimen dengan bahan dan menu yang ada, juga berhak memberikan ke siapa saja hasil masakan mereka: ke tetangga, juga kaum duafa.
Akhirnya, dari dua contoh kondisi kontras di atas, perkara siapa yang berkuasa di dapur tak lagi penting diperdebatkan selama semua dijalani secara sadar tanpa paksaan. Bagiku, yang terpenting dari urusan dapur ini adalah sikap saling menghargai dan saling mendukung. Antara perempuan dan laki-laki, siapapun ia, mesti suportif agar dapur tetap mengepul, agar masakan tetap terhidang. Sebab, dengan begitu, mungkin kehidupan bisa berjalan lebih baik. Salute!
Wahyu Nusantara Aji, lahir di Dames, Lombok Timur, 21 Oktober 1998. Menyelesaikan sarjana bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Hamzanwadi. Aktif menggiatkan Komunitas Rabu Langit—komunitas nirlaba yang menggiatkan sastra, juga Komunitas Teater Kapas Putih, satu-satunya komunitas teater mandiri di Lombok Timur. Karya-karyanya tersiar di berbagai media massa, dan telah dialihwahanakan ke dalam pertunjukan. Pada 2021, menerbitkan kumpulan sajak berjudul _Tamu Hari Libur_ (Akarpohon, 2021). Bisa disapa di akun Instagramnya: @wahyu_nusantaraji, dan akun Facebooknya: Wahyu Nusant Aji.