Lombok tidak hanya tentang keindahan alam, adat, dan sirkuit Moto GP. Lombok juga adalah panggung sejarah alam dan dunia. Dalam tulisan ini, saya akan membahas teori tentang Lombok sebagai sebuah daratan yang memaksa manusia purba melakukan pelayaran paling awal masa prasejarah, Lombok sebagai daratan yang menjadi rumah bagi Garis Wallace (garis paling terkenal dalam bidang biogeografi) dan Lombok sebagai rumah bagi gunung yang letusannya merupakan salah satu yang paling fenomenal dalam sejarah manusia. Catatan-catatan sejarah ini harus diingat dan dipelajari dengan baik. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk membangun sebuah museum sejarah alam, biogeografi, dan vulkanologi di NTB.
Selamat datang di NTB Museum of Natural History, Biogeography, and Volcanology. Kita mulai dari Lantai 1.
Lantai 1: Lombok dan Pelayaran Pertama Manusia Purba
Selat Lombok adalah selat pertama yang harus diseberangi oleh manusia purba pra Homo sapiens. Teori ini diajukan oleh Prof. Robert G. Bednarik, seorang ahli sejarah purbakala yang menulis artikel berjudul “Mereplikasi perjalanan laut pertama manusia di jaman Lower Pleistocene di Selat Lombok”. Artikel ini adalah satu dari 1400 publikasinya. Ketika saya mengiriminya email untuk mengajak bertemu dan mengenalkan diri sebagai “pemuda Lombok yang bermimpi punya museum” untuk merayakan kejadian historis itu, beliau dengan rendah hati menjawab “Ide itu bagus sekali, dan kamu bisa pakai 40 artikel ilmiah dan 2 buku saya untuk mendukungnya menjadi nyata”. Dia mengaminkannya.
Teori bahwa penyeberangan pertama manusia purba terjadi di Selat Lombok memang belum disepakati semua ilmuwan karena ada yang berpendapat bahwa manusia purba tidak mungkin bisa membangun rakit. Tak seperti Homo sapiens. Tetapi Prof. Bednarik bersikeras membuktikan bahwa bambu, kapak dari batu, serta teknologi sederhana dapat memungkinkan manusia purba melakukan penyeberangan di Selat Lombok dengan rakit. Dan dia melakukan eksperimen untuk itu. Dia berhasil membuat rakit, melakukan pelayaran, memantapkan kesimpulannya bahwa Selat Lombok dapat diarungi dengan rakit sederhana.
Mengapa Selat Lombok dan bukan selat lain di dunia? Untuk menjawab ini kita harus membayangkan masa satu juta tahun yang lalu. Berbagai jenis manusia purba diketahui telah hidup di daerah Nusantara, dibuktikan dengan ditemukan Homo floresiensis di Flores. Jika mereka dapat sampai ke Flores dari Afrika, pendahulunya pasti melewati daerah-daerah sebelah baratnya, termasuk Lombok.
Manusia belum berupa Homo sapiens yang kita kenal saat ini. Para ahli menyebutnya Hominins. Manusia purba ini belum mengetahui bagaimana mengolah besi dan belum mengalami revolusi kognisi seperti yang dibahas dalam Buku Sapiens. Mereka juga berakar dari Afrika seperti Homo Sapiens dan menyebar menuju berbagai belahan dunia, baik ke wilayah Eropa, ada juga yang ke wilayah Asia. Ada yang menjadi Homo erectus di sekitar tempat yang saat ini kita kenal sebagai Asia Tenggara, termasuk Sumatra, dan Jawa. Zaman ini kita sebut dengan Zaman Es atau Ice Age. Ingat, daratan dunia masih terhubung satu dengan lainnya: dari Afrika sampai Jawa. Bali ada sebagai ujung dari Jawa, menyatu (meski ada juga yang mengatakan terpisah laut dangkal yang bisa direnangi). Itulah ujung dunia saat itu. Tidak ada lagi daratan yang bisa dijelajahi berjalan kaki. Itulah ujung dari Sundaland.
Lalu suatu waktu pada kisaran 850.000 tahun yang lalu, manusia yang sudah sampai di ujung Bali itu melihat ke arah timur, dan mereka melihat awan Comulus yang berada di tempat yang jauh. Dari situ mereka menyimpulkan adanya daratan. Pikirnya, mari ke sana.
Laut yang harus mereka seberangi adalah Selat Lombok, selat terdalam di dunia. Dalamnya sampai 1.400 meter, ombak ganas. Treacherous! Bandingkan dengan Selat Bali yang hanya 60 meter atau Selat Sunda yang hanya 100 meter.
Di selat inilah cerita pelayaran pertama manusia purba dimulai, sesuatu yang tak banyak dibahas orang karena kita hanya mengetahui cerita manusia purba Jawa dan Flores, tanpa pernah bercerita tentang bagaimana manusia purba itu sampai ke sana atau di mana mereka membangun rakitnya, dan di pulau mana rakit itu pertama dirayakan sebagai rakit pertama yang berhasil berlayar mencapai sebuah daratan baru yaitu pantai barat Lombok.
Itulah museum lantai pertama : pelayaran pertama manusia purba melewati Selat Lombok, menuju Pulau Lombok.
Lantai 2: Selat Lombok dan Garis Paling Penting Dunia Biogeografi
Catatan ke dua tentang Lombok sebagai panggung sejarah alam adalah bahwa Lombok merupakan salah satu rumah bagi Garis Wallace. Garis Wallace kita kenal sejak SD sebagai garis imajiner flora dan fauna. Garis ini diperkenalkan pada tahun 1859 oleh Alfred Russel Wallace, tokoh yang sama pentingnya dengan Charles Darwin. Wallace adalah seorang naturalis yang menyimpulkan teori evolusi berdasarkan pengamatannya di kepuluan Nusantara dan menerbitkan buku The Malay Archipelago.
Garis ini adalah penanda batas barat dari Zona Wallacea, zona peralihan fauna Asia dan Australia. Di barat garis ini terdapat organisme-organisme khas Asia, dan di sebelah timurnya ada organisme peralihan dan Australia. Dua wilayah ini punya jenis ikan, burung, dan mamalia yang berbeda.
Garis ini memiliki signifikansi luar bisa bagi pendidikan ilmu alam. Beribu artikel telah mempelajarinya. Garis ini telah membuat imuwan berpikir mengapa fauna-faunanya berbeda, apa saja anatomi yang berbeda, dan mengapa perbedaan anatomis itu terjadi. Garis ini bisa telah menjadi pemantik pembelajaran tentang geologi, bahwa bumi jauh lebih tua dari sekedar beberapa ribu tahun.
Selat Lombok punya peran sentral sejak berpisahnya Gondwana 180 juta tahun yang lalu. Memisahkan dunia Asia dan dunia Australia, memisahkan juga penghuni masa depannya. Garis ini sudah cukup terkenal. Mari kita ke lantai 3.
Lantai 3: Lombok dan Letusan Misterius Abad 13. Samalas.
Di antara tahun 1257 dan 1258, sebuah gunung diketahui meletus dan mengakibatkan begitu banyak konsekuensi dan perubahan di seluruh dunia. Nama gunung ini kemudian dipopulerkan setelah Prof. Franck Lavigne meneliti secara komprehensif tentang asal-muasal misteri endapan sulfat di Kutub Utara, dan mencocokkannya dengan sebuah kitab kuno dari Lombok. Sebuah kolom di majalah Science pada 2013 menyebut gunung ini sebagai culprit, atau kambing hitam dari terjadinya berbagai kejadian anomali cuaca dan bencana. Dampak letusannya begitu beragam dan kelam, mulai dari mengerdilkan pertumbuhan pohon di Mongolia sampai Swedia, mengakibatkan kekeringan di belahan bumi Utara dan musim dingin menjadi lebih lama di Eropa. Anomali di mana-mana, gerhana bulan di Inggris, cuaca dingin, hujan deras dan banjir pada musim panas dan gugur di Perancis, Jerman, dan Italia. Di Asia, merebak wabah di Irak, Suriah dan Turki. Musim panas pun tak jadi hangat. Orang Perancis keheranan: mengapa bunga Viola berbunga lebih cepat?
Pada tahun 2000, peneliti NASA menyebutkan bahwa “sebuah gunung di daerah tropis telah meletus, dan zat-zat yang disemburkannya menyelimuti seluruh Bumi. Letusan gunung ini telah menimbulkan konsekuensi seperti peperangan, memperburuk kondisi kehidupan masyarakat di Timur Tengah pasca jatuhnya Bagdad ke tangan Mongol, terkuburnya kerajaan di sekitar ledakannya, dan banyak maladi lain di seluruh dunia. Richard B Stothers menyebutnya ‘letusan misterius’ karena tak ada yang tahu letusan itu terjadi di mana. Mereka hanya mengetahui dampaknya dengan mencocokkan analisa zat dalam pohon, anomali cuaca Abad ke 13, dan titik-titik data yang lain. Baru pada tahun 2013 para ahli dunia menemukan apa yang ditulis di Babad Lombok.
Gunung Renjani kularat, miwah Gunung Samalas rak-rak, balabur watu gumuruh, tibeng desa Pamatan, yata kanyut bale halang parubuh, kurambangning sagara, wong ngipun halong kang mati. (Gunung Rinjani longsor, dan gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, jatuh di desa Pamatan, lalu hanyut rumah lumpur rubuh, terapung-apung di lautan, penduduknya banyak yang mati).
Gunung Samalas atau Rinjani Tua, ternyata kau biang keladinya.
Pelayaran pertama manusia purba, garis penting biogeografi dunia, dan ledakan misterius pengubah dunia. Tiga kejadian dan hal besar ini bisa disematkan ke Pulau Lombok dan Selat Lombok. Ini lah yang membuatku berhayal adanya museum agar keturunan kita bisa mempelajari sejarah alam, biogeografi, dan vulkanologi. Museum besar, semacam museum-museum di Melbourne, Chicago, atau Paris.
Museum ini akan jadi tempat belajar bagi dunia. Siswa SD bisa berjalan-jalan di lantai pertama. Mereka bisa mencari jawaban seperti apa manusia purba menyebar dari Afrika. Mengapa mereka berpindah? Apakah manusia purba pernah mendiami Lombok? Mengapa kulit orang Sasak lebih mirip kawan-kawan Jawa tapi tidak seperti kawan-kawan Papua? Lalu tentu ada replika rakit Prof. Bednarik di pojok lantai pertama.
Lalu di lantai dua, preparat binatang Asia, Peralihan, dan Australia menghiasi dinding. Lengkap dengan replika fosil dan foto teori Darwin VS Wallace. Apa itu evolusi? Apa benar Teori Evolusi itu artinya manusia keturunan monyet? Mengapa Selat Lombok membuat fauna terpisah tapi selat yang lain tidak?
Lalu di lantai tiga, puncak Samalas. Mengapa bisa sebuah letusan di Lombok bisa menyebabkan Little Ice Age di Eropa? Mengapa bisa sampai mengakibatkan gagal panen, kelaparan, dan peperangan? Apa hubungannya? Bagaimana mereka baru bisa mengetahuinya pada tahun 2013 dan bukan sebelumnya?
Semua pertanyaan ini bisa dijawab di museum itu. Dan di museum itu ada juga Tambora. Bersebelahan dengan Samalas. The two NTB bad boys, majestic queens.
Disclaimer: Tentu teori-teori tentang masa lalu apalagi masa satu juta tahun yang lalu belum bisa dikatakan kuat sekuat Teori Evolusi. Buku tentang prasejarah masih banyak berisi rekaan dan asumsi dari spektrum lemah sampai sangat kuat. Museum juga berfungsi memfilsafatkan ilmu pada tingkat-tingkatan bawah sampai atas.
“Dari mana duitnya?!” tanyanya.
Tentu museum butuh uang. Saya optimis. Kabarnya suatu hari nanti Selat Lombok akan menggantikan Selat Malaka karena Selat legendaris ini akan menjadi semakin sempit, semakin dangkal, dengan lalu lintas semakin ramai. Selat Lombok akan menjadi pengganti atau alternatifnya. NTB akan mendapatkan berkah dari perpindahan ini. Uangnya dari situ. Atau kita bisa patungan, crowdfunding. Kecil-kecil dulu.
Harapannya, ketika Indonesia HUT ke 100 di 2045, museum ini telah berdiri, lengkap dengan fasilitas metaverse di mana anak-anak bisa membayangkan berada bertualangan di Zaman Es, menjadi asisten Alfred Wallace, dan menyaksikan ledakan Samalas. Selamat Hari Museum sedunia. Semoga kita bisa mewujudkannya.
[Ucapan terima kasih: Esai ini berhutang pada review dari Meliawati Ang -Manager of Research, Development and Interinstitutional Cooperation of Geopark Rinjani)
Ahmad Junaidi, penggagas dan pegiat Jage Kastare Foundation. Mengajar di FKIP Universitas Mataram. Pembina Mapala FKIP Unram.