26.5 C
Mataram
Selasa, 26 November 2024
BerandaSastraCerpenRelapse - Cerpen Mochammad Aldy Maulana Adha

Relapse – Cerpen Mochammad Aldy Maulana Adha

Maret, 2020

“Selalu ada alasan di balik kegilaan. Namun cinta tak pernah memiliki alasan, tapi kau tak cinta. Kau terlalu banyak menyaksikan akhir yang bahagia. Kau bahkan tak tahu bahwa puncak dari cinta adalah kegilaan—dan kau, tak pernah mengakui bahwa beberapa kisah cinta harus berakhir dengan teriakan keputusasaan, lubang di dahi, lebam dan ungu di leher; sampai merah yang mengalir deras dari urat nadi—hanya agar semua kegilaan itu berlalu!” Lalu sosok itu pergi, menembus gelap malam bersama tanda tanya—tergeletak—bernyawa.

***

Aku mulai sadar dan mulai terjaga. Ternyata itu semua hanyalah mimpi. Akan tetapi, siapa perempuan cantik dengan pemikiran brilian, tapi memiliki tatapan sedingin kulkas pada pukul satu dini hari—dengan wajah datar nan pucat tanpa ekspresi di mimpiku itu?

Juni, 2020

Hari-hariku berubah, aku tak henti memikirkan perempuan itu. Andai saja perempuan itu ada di dunia nyata, tentu akan kutemui tanpa ragu. Sungguh aneh malam itu, kamarku berubah menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Ketika hujan turun, suhunya benar-benar menyayat kulit tropisku.

***

Juli, 2020

Aku duduk di kursi kamarku. Sekarang tepat pukul sebelas malam. Dan aku masih belum mengantuk. Aku mesti mengerjakan beberapa halaman buku yang sedang kutulis. Hujan kembali turun. Dan bisa ditebak, suhu di kamarku menjadi lebih dingin. Jendela mendecit tertiup angin; aku tak menghiraukannya, sebelum kemudian angin menjadi lebih besar dan meniup beberapa kertas di ruangan.

Aku bergegas menutup jendela. Sialan. Sepertinya adikku tadi bermain di kamarku dan lupa menutup kembali jendela. Beberapa menit kemudian, ponselku berdering; itu telepon masuk dari ibuku. Aku bingung, mengapa ia meneleponku? Padahal ia ada di kamarnya. Aku tetap mengangkat telepon itu. Belum sempat aku bertanya mengapa ia menelepon, ibuku langsung memotong dan berkata: “Cepat sembuh ya, obatnya jangan lupa diminum. Oh ya, ibu masih di rumah nenek sama adikmu.”—dan tiba-tiba ponselku mati karena baterainya habis.

Seketika itu juga aku terkejut. Melamun beberapa saat dan mulai cemas tak karuan. Aku bertanya-tanya, perihal siapa orang yang berada di dapur pada pukul sembilan malam ketika aku baru saja tiba di rumah? Aku penasaran. Aku akan mengecek ruangan tengah dan dapur. Nyatanya semua terlihat baik-baik saja. Kamar ibu pun terkunci. Aku baru ingat bahwa keluargaku memang pergi ke rumah nenek pagi tadi. Ah sudahlah, mungkin tadi hanya ilusi yang hadir karena aku kelelahan.

Aku kembali masuk ke kamarku. Suasana yang awalnya berisik karena suara gemercik hujan, kini sudah menjadi sunyi tak bertepi, berbarengan dengan redanya hujan. Namun justru aku semakin merasa cemas. Sebab tak ada suara lain kecuali suara ketikan jariku pada papan tombol. Mendadak laptopku mati, padahal tak pernah seperti ini sebelumnya. Aku benar-benar kesal. Aku belum sempat menyimpan file tulisanku. Beberapa kali kucoba nyalakan lagi. Hasilnya tetap tak menyala. Naik pitam, aku menutup laptopku dengan amarah.

***

Aku memutuskan untuk berbaring di ranjang. Dan sekarang aku mulai mengantuk. Aku melepaskan kacamataku. Penglihatanku mulai agak samar. Namun semuanya kemudian berubah menjadi situasi yang tak aku inginkan … Terserempak ada sesosok perempuan tepat di pojok kamarku. Ia menatap ke arah jendela. Aku tak bisa menggerakan badanku. Sial. Perempuan itu terlihat seperti Sandhya. Ia memakai jaket berwarna kuning. Lengkap dengan gincu merah yang selalu setia mewarnai bibirnya.

Kebun binatang keluar dari mulutku. Aku tak bisa menemukan kacamataku. Aku masih tak bisa melihat semua dengan jelas, tetapi aku yakin bahwa itu adalah Sandhya. Aku semakin terkejut ketika ia menoleh kepadaku. Tiba-tiba saja penglihatanku menjadi jelas, aku melihat dengan jelas bahwa itu memang benar-benar Sandhya. Ia menatapku tanpa ekspresi. Tatapannya begitu kosong, seperti langit yang gelap tanpa jawaban apakah akan hujan. Aku masih kebingungan, apakah ini hanya ilusi ataukah memang kenyataan?

Ia masih menatapku. Tiba-tiba, darah demi darah mengalir dari lubang hidungnya. Ia terlihat sangat ketakutan. Lalu menangis histeris. Dan berteriak-teriak. Ia terus berteriak, meminta tolong dan menangis sangat kencang.

Tapi seketika ia terjatuh, tergelepak begitu saja. Dengan cepat aku menutup mataku untuk beberapa saat. Ketika aku kembali membuka mataku, ia sudah tak ada di pojok kamarku. Jendela kembali berdecit dan udara dingin kembali masuk. Aku tak peduli jendela itu, aku tak peduli udara dingin itu, aku ingin segera tertidur.

Aku mengira semua kejadian buruk itu sudah berakhir. Aku menarik nafas dalam-dalam. Syukurlah. Badanku sudah bisa digerakan. Aku mengambil selimut dan berbaring ke arah kiri. Setelah semua kejadian tadi, aku justru tertawa. Ternyata sehebat itu hasil kerja otakku. Namun ketika aku membalikkan badan ke arah kanan untuk mengambil ponselku, Sandhya kembali berdiri di pojok itu.

Seketika aku terperanjat dan membalikan badan kembali ke kiri. Ternyata, Sandhya dengan posisi jongkok ada di hadapanku, di dekat jendela, dengan ekspresi marah dan mulai meneriakkan namaku. Sontak aku berteriak, sekencang-kencangnya. Hingga pada akhirnya, semuanya menjadi gelap buta.

***

September, 2020

Aku terbangun dengan keadaan lemas, terbaring di sebuah ranjang, di sebuah ruangan yang tampak asing. Semuanya serba putih. Hidungku mencium bau obat-obatan dan bahan-bahan kimia yang cukup menyengat. Aku terkejut bukan main ketika menyadari bahwa tangan dan kakiku diikat. “Di mana aku, apakah ini rumah sakit?”

Aku menggertak. Beberapa orang datang menghampiriku. Aku ketakutan, dan berkeringat, “Tenang, coba tenang. Tenangkan dirimu,” jawab sebuah suara yang entah siapa. Aku makin panik. Aku semakin berteriak-teriak tak jelas. Aku tak mampu mengontrol diriku sendiri.

“Iya ini rumah sakit … rumah sakit jiwa,” tambahnya. Aku mencoba mendebatnya, “Tapi aku tak gila!” Namun suara itu malah tertawa dingin. Belum habis rasa panikku, ia malah kembali menimpali, “semua orang di sini juga bilang begitu.” Aku tak tahu harus berkata apa, tetapi aku tertawa dengan keras—sangat keras.

Sosok misterius itu kembali berbicara, “Sekarang kau ada di sini. Sebuah tempat rehabilitasi di mana orang-orang di dalamnya bebas melakukan apapun yang mereka inginkan. Bebas hidup di dalam dunia mereka sendiri. Menjadi apapun yang mereka inginkan, bukan menjadi apa yang orang lain harapkan.”

Aku ingin menanggapinya. Namun sosok itu malah kembali berbicara, “Apakah kau tahu mengapa kau masuk rumah sakit jiwa ini? Karena kau memang benar-benar gila. Kau membunuh istrimu sendiri. Menembak dahinya dengan pistol berkaliber 9mm sebanyak dua kali. Dan bagian paling sintingnya adalah ketika kau berdalih bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkanmu—dari kegilaanmu sendiri,” pungkas sosok misterius itu.

Aku tak dapat berkata-kata. Aku hanya tertawa lepas. Memenuhi ruang-ruang yang sunyi dengan gelak-tawa; tawa yang sama seperti tawa orang dengan gangguan jiwa.

“Apakah semua ini mimpi? Jika ini memang mimpi, bolehkan aku memilih mimpiku sendiri? Aku selalu bermimpi untuk hidup bersama Sandhya, istriku. Di dalam kepalaku, bersama buku-buku. Dan jika dapat memimpikan itu, maka aku akan memilih untuk tetap hidup dalam mimpi dan tak ingin terbangun untuk selamanya. Meski aku tahu, aku lebih menderita di dalam mimpi ketimbang realita.”

Aku melontarkan sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan dengan polosnya. Namun yang tersisa hanyalah hening yang tak bersuara.

***

Aku memandang sekeliling, tapi sekarang yang kulihat hanyalah baju-baju yang tergantung di dinding. Di sebuah kamar yang kacau tak beraturan. Seperti kapal pecah. Buku dan kertas-kertas tak berguna berserakan. Gelas-gelas bekas kopi pun memenuhi sudut kamar. Puntung rokok memenuhi asbak yang sudah kelebihan muatan.

Ini kamarku, saat hari sudah cerah. Ternyata semua omong kosong tadi hanyalah mimpi. Lantas aku mengepak ransel, meminum dua butir antipsikotik dan antimania: olanzapine dan litium karbonat. Aku harus bersegera menziarahi makam Sandhya … di dalam kepalaku—dengan bantuan psikiater di poli jiwa.

(2020)

Mochammad Aldy Maulana Adha lahir di Bogor, Jawa Barat—pada 27 Maret 2000. Bukunya: Timbul Tenggelam Philo-Sophia Kehidupan (2020); Timbul Tenggelam Spirit-Us Kehidupan (2020); Trias Puitika (2021). Pembaca yang suka menulis ini adalah penerjemah, kreator sekaligus kurator puisi, prosa dan cerpen. Editor Omong-Omong Media.

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer