31.5 C
Mataram
Selasa, 30 April 2024
BerandaInsiderSudahi Perkawinan Anak!

Sudahi Perkawinan Anak!

Mataram (Inside Lombok) – Kasus perkawinan anak di NTB terjadi peningkatan setiap tahun. Pada saat pandemi Covid-19 mengalami lonjakan kasus yang cukup signifikan. Faktor ekonomi dan kondisi keluarga yang tidak harmoni, kerap jadi alasan keputusan menikah di usia dini. Sangat disayangkan keputusan itu tak menimbang berbagai resiko dan dampak ikutan, terutama kesehatan reproduksi perempuan pelaku pernikahan anak yang masih belum matang, belum lagi ancaman generasi stunting yang lahir dari rahim perempuan yang menikah dini.

*****

A (17) asal Kabupaten Lombok Barat terlihat kurang bertenaga dari biasanya. Tubuhnya yang memang sudah kecil nampak sedikit lebih kurus, padahal dia tengah hamil. Kandungannya memasuki usia 4 bulan.

Januari lalu A menikah dengan laki-laki yang dicintainya karena sudah berpacaran hampir setahun. Keputusan menikah diambil saat dia duduk di kelas I SMA, saat sedang asyik-asyiknya menikmati masa remaja. “Mau sebenarnya melanjutkan sekolah. Apalagi lihat teman-teman. Saya kangen sama teman-teman sekolah,” katanya.

- Advertisement -

A merupakan anak yang tumbuh dari keluarga yang kurang harmonis. Ibunya seorang warga negara Kamboja harus kembali ke negara asalnya setelah bercerai. Bapaknya menikah lagi. “Saya kurang dapat perhatian dari orang tua terutama bapak. Ibu saya tidak ada di sini dan sekarang kan saya punya ibu tiri,” katanya.

Lahir tahun 2005 lalu, kini dia dipaksa oleh keadaan untuk menjalankan perannya sebagai istri dan calon ibu. Saat teman-teman sebayannya bersiap berangkat ke sekolah di pagi hari, dia sudah harus berada di dapur menyiapkan sarapan, lalu membersihkan rumah dan mengerjakan tugas ibu rumah tangga lainnya. “Kerjaan saya tiap hari ya membersihkan halaman rumah, masak. Ya kayak gitu dah,” ucapnya.

Mimpi hidup mapan dengan menikah ternyata masih jauh dari harapan. Untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarganya, suami A bekerja sebagai buruh angkat pasir. Penghasilannya masih jauh dari cukup. Bahkan untuk kebutuhan gizi bagi si janin dalam kandungan pun, ia mengaku kadang-kadang tidak bisa terpenuhi. Dia harus menerima pekerjaan suaminya yang berpenghasilan tak menentu.

“Pekerjaan suami saya ngerit (angkat pasir ke truk red). Pendapatan kadang-kadang Rp100 ribu kalau lagi banyak-banyaknya. Kalau benar-benar tidak ada ya dapatnya hanya Rp5 ribu per hari,” ucapnya.

Saat memutuskan menikah, A mengaku ada upaya orang tua untuk membelas (memisahkan perkawinan anak red). Namun upaya itu kandas. Dia sudah terlanjur dibawa oleh calon suaminya. Mereka menjalankan tradisi merariq—tradisi menikah suku Sasak dimana seorang perempuan dibawa lari oleh kekasih atau calon suami pilihannya untuk kemudian menjalani pernikahan.  Akhirnya orang tuanya menyetujui. “Ada sih upaya disuruh pulang. Tapi kan sudah terlanjur katanya. Jadi diizinkan nikah muda,” katanya.

Menurutnya, menikah di usia masih anak-anak memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi dirinya. Perkawinan yang sudah jalankan sekitar sembilan bulan, tidak berjalan seindah yang dibayangkan.  “Kadang-kadang ada aja yang buat kita sakit hati. Nggak enak dah pokoknya. Tapi apa boleh buat,” ujarnya saat duduk berdua bersama suaminya.

Setali tiga uang dengan kisah A, P (18), warga Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat, juga menikah di usia 16 lantaran pengaruh lingkungan keluarganya. Tinggal dengan bapak dan ibu tiri berdampak pada psikologisnya.  Dia berpikir menikah adalah solusi dari masalah yang dihadapi. Baru saja lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP), P memutuskan menikah.

“Usia menikah 16 tahun. Gara-gara mungkin masalah keluarga. Kadang-kadang kalau dimarahin maunya menikah,” tutur P sembari menemani bermain anaknya yang baru berusia satu tahun.

Ia menceritakan, kehidupan setelah menikah tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi ketika sedang mengandung anaknya. Di usia kehamilan yang semakin besar, dia tidak mendapatkan perhatian lebih seperti yang diharapkan. Sang suami masih seperti anak muda pada umumnya, masih suka kumpul dengan teman sebaya dan pulang waktu dini hari. “Kan waktu itu kita butuh dia di samping. Apalagi saya masih tinggal sama mertua waktu itu,” ceritanya dengan raut muka sedih.

Sambil berusaha menidurkan anaknya yang mulai mengantuk, P mengakui ada rasa penyesalan yang muncul dengan keputusan yang diambil setelah menjalani kehidupan rumah tangga. Dipaksa oleh keadaan untuk menjadi istri dan ibu ketika usia masih sangat muda. Sementara teman-teman seusianya sedang menikmati masa remaja dan melanjutkan pendidikan.

“Ada rasa penyesalan, tapi mau bagaimana sudah terlanjur dan sekarang saya hanya berusaha menikmati dah proses ini,” ujarnya.

Keputusannya menikah di usia anak-anak, menyebabkan P belum mendapatkan buku nikah dan berdampak pada akta kelahiran anaknya. Hingga anaknya berusia kurang lebih satu tahun, P belum bisa mendapatkan buku nikah dari KUA. “Saya nggak punya buku nikah. Kan waktu itu saya belum punya KTP. Belum sesuai usia perkawinan,” keluhnya.

Selain itu, kondisinya saat ini juga menyulitkan dia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena tidak memiliki ijazah SMA, sementara dia juga harus mengurus anaknya. “Sulit dapat kerja karena nggak ada ijazah,” ucapnya.

Hal ini berdampak pada keuangan rumah tangganya yang tidak baik-baik saja. Meski tidak sampai berhutang, tapi terkadang P pulang ke rumah orang tuanya hanya untuk meminta beras. “Kadang-kadang saya pulang untuk minta beras. Uang tidak ada. Suami kerjanya ngampas roti (mengantarkan roti pesanan ke pelanggan red),” katanya.

Perkawinan Anak Riskan Terhadap Kesehatan Reproduksi

Selain lantaran faktor psikologis yang belum matang, perempuan yang menjalani pernikahan di usia anak juga sangat rentan mengalami gangguan kesehatan. Terutama kesehatan reproduksi. Pasalnya, hamil pada usia anak-anak memiliki risiko bagi ibu dan calon bayinya. Larangan menikah usia anak juga karena organ reproduksinya belum matang.

“Kenapa ada himbauan jangan menikah dini karena kalau dari kesehatan organ reproduksi belum matang. Jadi setelah umur 20 tahun, baru dianggap matang,” kata dokter ahli kandungan Hj.Eka Nurhayati.,Sp.OG.,K-FER.,M.Kes.,M.Sc.

Menurut Eka, ketika belum matang, maka cukup bahaya dan fungsi reproduksinya akan terganggu seperti indung telur, rahim dan lainnya. “Jadi dianggap belum siap untuk menerima kehamilan. Kadang masih ada gangguan saat haid,” katanya.

Berdasarkan hasil penelitian, berhubungan seks pada usia anak-anak bisa berisiko kanker serviks. “Berhubungan seksual lebih dini angka risiko akan meningkat,” ujarnya.

Untuk menjaga kesehatan terutama bagi korban perkawinan anak pada saat hamil disarankan untuk rutin memeriksakan kandungannya ke fasilitas kesehatan. Sehingga bisa dideteksi apakah masuk risiko rendah atau tinggi. “Penangananya tergantung risikonya. Makanya harus dideteksi dulu,” katanya.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi NTB angka kematian bayi di NTB selama tiga tahun terjadi penurunan di Provinsi NTB. Berdasarkan data yang ada dari 863 kasus tahun 2019 turun menjadi 811 tahun 2021 lalu. “Rata-rata penurunan dari tahun 2019 ke tahun 2021: 0,05 per 100.000 KH atau 26 kasus kematian pertahun,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB dr. H. Lalu Hamzi Fikri yang juga menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) NTB.

Sumber data : Dinas Kesehatan NTB
Sumber data: Dinas Kesehatan Provinis NTB. Kasus kematian bayi ini tiga tahun terakhir mulai tahun 2019-2021

Sementara untuk kematian ibu terjadi peningkatan selama tiga tahun terakhir dari 97 tahun 2019 menjadi 144 pada tahun 2021. Rata-rata kematian dari tahun 2019 ke tahun 2021: 26,28 per 100.000 KH atau 23 kasus kematian pertahun.

“Kematian tertinggi di  Kabupaten Lombok Timur (45 kasus) dan terendah Kabupaten Sumbawa Barat, dua kasus,” katanya.

Sumber data : Dinas Kesehatan Provinsi NTB
Sumber data: Dinas Kesehatan Provinsi NTB

Rentan tapi Masih Enggan ke Posyandu

Meningkatnya kasus perkawinan anak di NTB juga menjadi tanggung jawab para kader posyandu dalam memberikan pelayanan saat kehamilan. Arahan untuk menjaga kehamilan tetap diberikan agar bayi yang dilahirkan nanti dalam kondisi normal, dan si Ibu sehat. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, bayi yang dilahirkan akibat dari perkawinan anak rata-rata mengalami stunting.

Kader Pendamping Desa Sembung, Rauhun, mengatakan tetap memberikan arahan kepada para pelaku pernikahan anak. Bahkan para kader mengunjungi langsung ke rumah-rumah agar mendapatkan pelayanan yang lebih maksimal. Kasus yang ditemukan, ibu hamil baik pelaku perkawinan anak mau bukan, masih ada yang enggan untuk datang posyandu.

“Kita tetap arahkan. Karena korban perkawinan anak yang hamil itu termasuk risiko tinggi. Khawatirnya nanti pas melahirkan itu. Mereka juga tidak punya kartu kan karena belum ada KTP juga,” katanya.

Korban perkawinan anak yang ditemukan ada yang berusia 14 tahun. Dengan usianya yang masih belia, pengetahuan tentang menjaga kehamilan serta pola asuh anak masih sangat kurang. Sehingga diarahkan untuk rutin datang ke posyandu.

“Di beberapa lokasi di sini ada yang usianya 14 tahun. Kita sering-sering ngasih tahu untuk datang ke posyandu. Tapi masih ada saja yang malas,” ungkapnya.

Sebagai upaya untuk mencegah bayi lahir stunting, para kader juga rutin memberikan makanan tambahan dan juga susu. Bahkan saat ini sedang diprogramkan untuk pemberian makanan tambahan dan akan diantarkan langsung ke rumah sasaran. Karena dari 10 kasus perkawinan anak yang ditemukan, sekitar lima kasus melahirkan bayi stunting.

“Makanya kita itu minta rajin ke posyandu. Periksa kehamilan, cek HB, USG. Tapi ya gitu dah anak-anak. Banyak yang tidak mau ke posyandu. Banyak yang kadang nggak suka dikasih arahan,” ungkapnya.

Kader posyandu saat mengunjungi rumah ibu hamil untuk menjelaskan terkait pola makanan.

Kader posyandu saat mengunjungi rumah ibu hamil untuk menjelasakan terkait pola makanan. (sumber foto: kader posyandu)

Sementara itu Ketua PKBI NTB sekaligus Kepala Dinas Kesehatan NTB, dr. H. Lalu Hamzi Fikri, menyebutkan angka stunting di NTB saat ini sebesar 16,99 persen. Berdasarkan data entry pencatatan gizi berbasis masyarakat. Trend kasus stunting di NTB terjadi penurunan. Karena di akhir tahun 2021 lalu, kasus stunting di NTB yaitu sebesar 19,23 persen.

Saat ini, angka stunting di kabupaten/kota yang berada di bawah 18 persen per tanggal 15 September lalu yaitu Kota Mataram, Kabupaten Lombok Timur, KSB, Sumbawa, Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Kota Bima.

“Ada yang masih kategori kuning kita di sini. Yaitu Lombok Utara, Lombok Tengah ini rata-rata di atas 20 persen. Lombok Barat itu di angka 18,69 persen. Kalau kita bicara stunting itu harus dari hulu ke hilir,” ungkapnya.

Ketua PKBI NTB sekaligus Kepala Dinas Kesehatan NTB, dr. H. Lalu Hamzi Fikri.

Upaya Pemerintah Cegah Perkawinan Anak.

Wakil Gubernur NTB, Dr. Hj. Sitti Rohmi Djalillah. (Sumber foto:Pemprov NTB)

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tercatat masuk dalam tujuh besar angka kasus perkawinan anak tertinggi di Indonesia. Pemprov NTB tahun 2021 lalu sudah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi NTB nomor 5 tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Kehadiran Perda ini menjadi salah satu upaya pemerintah daerah untuk mencegah perkawinan anak. Meski belum berjalan dengan maksimal di tengah masyarakat, keberadaan perda tersebut tetap disosialisasikan.

“PR kita sekarang adalah terus mensosialisasikan Perda ini. Bahwa ada sanksinya gitu lho. Jadi kita tidak bisa anggap remeh bagi yang memalsukan umur mempermudah itu, tidak bisa dianggap remeh,” kata Wakil Gubernur NTB Hj. Sitti Rohmi Djalilah.

Pencegahan perkawinan anak ini diakui tidak mudah. Sehingga diharapkan semua pihak ikut terlibat. Jika terjadi perkawinan anak maka harus ada upaya untuk dibelas (dipisahkan red) dan memberikan pemahaman kepada korban. “Itu makanya terus menerus kita edukasi, walaupun nggak gampang memang, ” ucap Rohmi.

Upaya pencegahan lanjut Wagub tidak bisa dilakukan dengan tindakan-tindakan yang keras. Melainkan dengan cara-cara persuasif dan terus menerus. Saat ini, melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, salah satunya Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) NTB, dilakukan sosialisasi Perda yang sudah disahkan. “Anggota DPRD kita di provinsi juga melakukan sosialisasi khusus Perda perkawinan anak. Semuanya turun ke dapilnya untuk melakukan sosialisasi,” katanya.

Sementara itu, Ketua Komisi V DPRD NTB, H. Lalu Hardian Irfani mengatakan Perda NTB Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Perkawinan Anak belum berjalan maksimal di lapangan. Upaya yang harus dilakukan untuk memaksimalkan pelaksanaan Perda, harus ada regulasi di tingkat bawah berupa Peraturan Desa (Perdes).

Belum maksimalnya Perda yang sudah disahkan terlihat dari angka perkawinan anak di NTB yang masih meningkat. Bagi Hardian ada banyak tantangan yang dihadapi, salah satunya adat budaya setempat. “Kadang-kadang ketika anaknya sudah akil baliq, orang tua  memutuskan daripada sekolah mending dinikahkan. Itu biasanya karena faktor ekonomi,” katanya.

Perdes yang akan dibuat harus ada sanksi yang dicantumkan agar efek jera jika ada kasus perkawinan anak. Keberadaan perdes menurut Haridian, lebih ampuh jika dibandingkan dengan Perda. “Kalau Perdes kan cakupannya di lingkungan tertentu gitu, di masing-masing desa. Saya lihat dan pelajari kontrolnya lebih bagus,” ungkapnya.

Jumlah desa yang sudah memiliki Perdes atau menjadi desa yang ramah perempuan dan anak masih sangat minim di Provinsi NTB. Dari ribuan desa dan kelurahan yang ada di NTB baru sekitar 15 desa yang sudah menerapkannya. “Nanti kita dorong lagi supaya desa-desa lain memiliki Perdes ini juga,” sarannya.

Selain pembuatan Perdes, DPRD NTB juga mendorong agar OPD terkait untuk memaksimalkan sosialisasi tentang Perda dan dampak perkawinan anak.Pemerintah juga diminta memperbanyak program pemberdayaan perempuan. “Di tingkat desa hingga dusun juga perlu ditingkatkan program seperti itu,” katanya.

Sementara terkait dengan adanya oknum yang menambah usia korban perkawinan anak ungkap Ari, harus menjadi perhatian semua pihak. Hal ini kerap dilakukan agar korban bisa menikah dan mendapatkan buku nikah.

“Jadi memang itu kami pertegas turun sosialisasi agar jangan ada aparat-aparat baik di tingkat KUA melakukan manipulasi data kelahiran. Sehingga pemahamanan tentang bahaya nikah anak ini perlu disosialisasikan,” tegasnya.

Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Anak, Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana (DP2AP2KB) Provinsi NTB. Angka perkawinan usia dini meningkat setiap tahun. Misalnya tahun 2015 yaitu sebanyak 86 kasus, tahun 2016 perkawinan anak sebanyak 134 kasus, tahun 2017 sebanyak 162 kasus, Tahun 2018 sebanyak 212, dan tahun 2019 sebanyak 370 kasus.

Pada tahun 2020 mengalami lonjakan kasus yang cukup signifikan sebanyak 875 kasus. Dan kembali terjadi peningkatan tahun 2021 sebanyak 1.132 kasus dan tahun 2022 hingga Juli sebanyak 419 kasus.

Kepala Dinas DP2AP2KB Provinsi NTB, Wismaningsih Drajadiah, mengatakan upaya pencegahan perkawinan anak sudah dilakukan. Karena tingginya kasus perkawinan anak menjadi hambatan NTB bisa menjadi Provinsi Layak Anak tahun 2023 mendatang. Langkah yang dilakukan yaitu dengan membentuk desa yang ramah perempuan dan peduli anak. Saat ini baru 15 desa dari seribu lebih desa dan kelurahan yang ada di NTB.

“Masalah perkawinan anak ini masuk menjadi klaster dua dari pencapaian KLA. Kita juga bentuk infrastruktur untuk menurunkan angka perkawinan anak di desa-desa. Itu dengan desa ramah perempuan dan peduli anak,” katanya.

Belasan desa yang dinyatakan sebagai desa ramah perempuan dan peduli anak ini tersebar di beberapa kabupaten di NTB salah satunya di Kabupaten Lombok Utara. “Ini ada dua dan tiga desa di kabupaten itu,” katanya.

Pencegahan perkawinan anak ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja, melainkan membutuhkan keterlibatan semua pihak. DP2AP2KB NTB sudah membelas atau memisahkan sejumlah perkawinan anak. “Apalagi kalau pelakunya ini ada ketimpangan misalnya ada pemaksaan yang diadukan masyarakat. Biasanya kita masukkan anak perempuan ini ke UPTD. Nanti jika sudah ada kesepakatan maka akan dipisah (belas red),” ujar Wisma.

Meski terlanjur nikah pada usia anak-anak, DP2AP2KB menyarankan agar menunda kehamilan hingga usia sudah dianggap matang. “Mental sudah kuat, rahim sudah kuat, dan pasti secara ekonomi mereka kuat untuk memiliki anak,” katanya.

Selain itu, Pemprov NTB tetap memberikan kesempatan kepada korban perkawinan anak untuk melanjutkan sekolah. Pemda saat ini sudah membuka sekolah terbuka bagi anak-anak yang tidak melanjutkan ke sekolah semula. “Ini juga ada SMA terbuka. Ini menjadi solusi untuk mereka yang sudah terlanjur menikah usia dini,” katanya.

Puluhan Perkawinan Anak Berhasil Dibatalkan

Sebagai lembaga yang fokus terhadap perlindungan anak, LPA NTB juga terlibat langsung dalam pencegahan perkawinan anak. Perlindungan yang dilakukan mulai dengan membentuk forum anak hingga ke tingkat desa. Selain itu membuat membantu untuk pengesahan Perdes yang di dalamnya tercantum upaya untuk mencegah perkawinan anak.

“Baru ada 15 desa tahun ini yang sudah ada perdesnya. Itu ada di lima kabupaten di NTB salah satunya di KLU,” kata ketua LPA NTB, Sahan.

Perdes yang sudah dibuat kata Sahan, memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap masyarakat. Artinya, masyarakat tidak lagi dengan bebas melakukan perkawinan anak. “Karena ini sudah diputuskan oleh desa dan di desa itu diputuskan oleh masyarakat setempat,” ujarnya.

Selain itu, LPA NTB juga sudah berhasil membatalkan (belas red) puluhan anak yang akan menikah. Ia menyebutkan, pada tahun 2021 sekitar 75 kasus perkawinan anak terjadi di Kabupaten Lombok Utara. Setengah dari kasus ini berhasil dibatalkan.

“Dari 75 itu kami bisa membelasnya sekitar 50 persen. Kalau yang tidak bisa dibelas ini ada yang kecelakaan, nikah diam-diam,” ujarnya.

Upaya pencegahan perkawinan anak ini terkendala karena masih banyak yang belum sadar dengan dampak yang akan ditimbulkan akibat perkawinan anak. Baik dari pihak keluarga ataupun dari oknum yang membantu proses perkawinan anak itu sendiri.

“Tapi dengan adanya peraturan desa masyarakat tidak berani lagi. Kalaupun ada masyarakat yang menentang dia sudah tidak berani. Tapi ini biasa terjadi di desa yang belum ada aturan,”ungkapnya.

Kisah hidup si A dan P yang menjalani pernikahan di usia dini, pantaslah menjadi pembelajaran bersama. A dan P menitip pesan kepada teman sebaya atau generasi penerus lainnya, untuk tetap semangat melanjutkan pendidikan. Getirnya hidup karena keputusan menikah di usia anak, cukuplah mereka yang merasakan.

“Meski lingkungan keluarga banyak masalah, tetap dan berusaha berjuang demi mencapai cita-cita. Jangan cepat-cepat untuk berpikir menikah seperti saya,” pesan A korban perkawinan anak.

Dia berharap kesalahan besar dalam hidup yang sudah diambil, menikah di usia dini tidak terjadi pada anak-anak yang lain. Karena perkawinan pada usia anak berdampak pada segala lini kehidupan. Usia yang masih produktif sebisa mungkin dimanfaatkan untuk melakukan hal-hal yang positif.

“Jangan seperti saya ini. Saya sudah terlanjur menikah diusia yang masih muda,” katanya dengan nada suara dan raut muka penuh penyesalan.

Selain dilakukan oleh pemerintah, upaya pencegahan perkawinan anak juga dilakukan oleh PKBI NTB dan UNICEF melalui program Komunikasi Risiko dan Pelibatan Masyarakat dan Anak. Partisipasi yg dilakukan berupa kampanye stop perkawinan anak di 80 sekolah dan komunitas remaja atau forum anak dampingan program di pulau Sumbawa. Kegiatan tersebut dilakukan dengan menggandeng Bappeda, DP3A2KB, Dikbud dan Dinkes yang pada dasarnya merupakan bentuk dukungan terhadap program pemerintah yakni Kabupaten Layak Anak.

 

- Advertisement -

Berita Populer