Mataram (Inside Lombok) – Pemerintah melalui Menteri Perdagangan mengeluarkan aturan larangan impor pakaian bekas. Aturan itu pun berdampak pada sejumlah pebisnis impor pakaian bekas atau thrifting di Pasar Karang Sukun, Mataram, yang mengeluhkan menurunnya pendapatan mereka. Pasalnya, sejak ada larangan tersebut pendapatan mereka menurun hingga 40 persen.
Salah satu pedagang di Pasar Karang Sukun, Yuni mengakui sejak adanya larangan impor pakaian bekas yang dilakukan oleh pemerintah, kondisi penjualannya mulai sepi. Tidak hanya dirinya, begitu juga dengan pedagang lainnya. Karena memang mata pencaharian sebagian besar pedagang di pasar karang sukun dari penjualan pakaian bekas impor.
“Sepi pembeli, pendapatan turun sekitar 40 persen. Mana kita semua pedagang rata-rata di sini ambil (dana) KUR (Kredit Usaha Rakyat). Bunganya juga ringan. Kalau sekarang dilarang, bagaimana kita bayar iuran,” keluh Yuni saat ditemui di rukonya, Senin (20/3).
Selain mengambil KUR, pedagang di Pasar Karang Sukun juga dibebani biaya sewa ruko dan listrik. Sedangkan pendapatannya sudah menurun sejak pademi Covid-19 lalu, kemudian ditambah dengan adanya aturan baru dari pemerintah.
“Di sini kita bayar perbulan Rp625 ribu belum lagi bayar listrik Rp25 ribu, jadi Rp650 ribu. Ini saja kita sudah sepi, biasanya masuk puasa kita stok barang sekarang sudah tidak bisa,” katanya.
Karena sudah tidak diperbolehkan lagi masuk impor pakaian bekas dan banyaknya gudang-gudang yang sudah ditutup, tidak ada barang baru bisa dijajakan kepada pembeli. “Barangnya ada yang datang dari Bali, Jakarta, tapi sekarang sudah tidak boleh. Kalau tidak boleh, kita mau kerja apa? Tidak ada,” ucapnya.
Seperti diketahui, larangan impor pakaian bekas dengan pos tarif HS 6309 diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Menurutnya, dengan adanya pedagang pakaian second membantu masyarakat kecil yang daya belinya rendah. Apalagi dengan kondisi ekonomi belum stabil, ditengah harga barang yang masih tinggi. “Kebanyakan masyarakat yang pendapatnya kecil beli baju disini, Rp100 ribu sudah bisa dapat 4 potong. Kalau beli baru hanya dapat satu atau dua saja,” jelasnya.
Diharapkan pemerintah tidak melarang impor pakaian bekas. Namun jika dilarang, sebaiknya pemerintah memberikan solusi. Agar usaha mereka tidak mati begitu saja. “Mungkin ada solusinya buat kami-kami pedagang kecil ini, jangan sampai dilarang,” imbuhnya.
Terpisah, salah satu pembeli Yanggi mengaku kerap membeli pakaian bekas di Pasar Karang Sukun, karena melihat dari segi kualitas cukup bagus. Terutama jika dibanding dengan yang ada di toko, selain itu harganya cukup murah.
“Kalau buat saya adanya larangan itu, kasian sama pedagangnya. Saya beli di sini, karena barangnya tidak pasaran kaya di toko-toko,” katanya.
Kemudian ada kekhawatiran terjangkit dengan penyakit, lantaran barang-barang bekas yang tidak diketahui dari mana. Hal tersebut tidak menjadi persoalan bagi dirinya, karena masih bisa dicuci kembali dengan bersih
“Setiap saya beli saya rendam dulu pakai air hangat, baru dicuci beberapa kali. Baru dipakai, sampai sekarang Alhamdulillah baik-baik saja,” pungkasnya. (dpi)