Mataram (Inside Lombok) – NTB tercatat memiliki 400 ribu hektare kawasan mangrove atau hutan bakau yang bisa dikelola untuk menghasilkan oksigen. Melihat potensi itu, disebut sudah ada tiga perusahaan yang berminat mengembangkan dan sudah masuk tahap penjajakan untuk merestorasi kawasan mangrove di NTB.
“Lokasi mangrove yang potensial ini dari hasil maping yang dilakukan ada di Waworada Bima, di Sumbawa, di Lombok Timur, di Lombok Barat. Saya sudah ketemu dengan pihak perusahaan itu. Kita sudah bahas juga proses perizinan dan lain-lain,” ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, Muslim, Jumat (29/9).
Indonesia berkomitmen mencapai target Nationally Determined Contributions (NDC) dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan beradaptasi terhadap dampaknya. Apalagi sekarang ini perdagangan karbon tengah menjadi perhatian dunia.
Saat ini perusahaan yang ingin berinvestasi di NTB berencana merestorasi hutan yang tidak gundul sama sekali. Artinya perusahaan itu tidak mulai dari nol untuk pengembangan kawasan mangrove.
Di sisi lain, terkait potensi perdagangan karbon ini pemerintah daerah juga mendorong partisipasi masyarakat menjadi bagian yang berperan penting dalam pengelolaan hutan mangrove dan aspek ekonomi lainnya. “Para pengusaha ini akan menjualnya sebagai kompensasi ekologi. Masyarakat lokal harus mendapatkan manfaat ekonominya juga,” tuturnya.
luas area hutan mangrove di Indonesia saat ini mencapai 3,31 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per hektar atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove di Indonesia.
Sementara itu, Indonesia juga memiliki lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton. Maka total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton. Apabila Pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga 5 Dolar AS di pasar karbon, maka potensi ekonomi karbon di Tanah Air mencapai Rp 8.000 triliun, terdiri dari hutan tropis sebesar Rp 1.780 triliun, hutan mangrove Rp 2.333 triliun, dan lahan gambut Rp 3.888 triliun
Sebagai informasi, Perdagangan karbon sendiri adalah transaksi jual beli kredit karbon. Kredit karbon merupakan representasi hak bagi satu perusahaan untuk menghasilkan emisi karbon atau gas rumah kaca lain dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).
“Salah satu syaratnya yaitu lahan penanaman mangrove tersebut milik pemerintah, bukan milik perorangan. Pemerintah pusat sendiri sangat serius untuk merespons potensi ekonomi biru ini,” katanya.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kawasan mangrove dan hutan hujan tropis yang banyak dan dapat diperjualbelikan di pasar global. Dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan peraturan teknis atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon (POJK 14/2023) dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (SEOJK 12/2023). (dpi)