Lombok Barat (Inside Lombok) – Desa Giri Madya di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat (Lobar) menjadi salah satu penghasil nira dengan kapasitas puluhan ribu liter per hari. Usaha gula aren pun menjadi salah satu yang dicoba masyarakat sebagai sumber pendapatan. Sayangnya, hasil produksi nira itu masih lebih banyak diolah untuk membuat tuak toaq yang merupakan minuman beralkohol tradisional. Karenanya pelaku usaha gula aren dinilai perlu dukungan untuk bisa meningkatkan taraf usaha.
Diakui, masih banyak yang memilih mengolah air nira menjadi tuak toaq lantaran proses yang lebih mudah dibanding pembuatan gula aren, serta lebih cepat dijual. Karena itu, Kepala Desa Giri, Samiudin berharap ada intervensi baik dari pemerintah maupun swasta, agar air nira yang diproduksi bisa dikelola dengan skala besar secara profesional tanpa merugikan petani.
“Sudah banyak mau coba-coba bantu kita bebas dari tuak toaq ini. Namun nyatanya hilang setelah kita cerita produksinya. Kami butuh sekali bantuan pemikiran dan pihak-pihak yang mau membantu kami menyelesaikan masalah miras tradisional ini,” ujar Samiudin, Kamis (16/11).
Dikatakan, para petani lebih memilih menjual air arennya dalam bentuk tuak toaq dengan harga Rp10 ribu per lima liter, dibandingkan dijadikan gula aren. Mengingat gula aren membutuhkan biaya produksi yang lebih banyak dan butuh durasi 6-8 jam.
“Kalau dijadikan tuak toaq ini kan panen pagi dan sore sama hasilnya, tinggal jual, selesai. Kalau jadi gula ini produksinya lama, harga gula aren juga turun-naik, sekarang lagi murah-murahnya ini,” tuturnya.
Diakui, berbagai cara sudah dilakukan pemerintah desa, tapi belum membuahkan hasil. Berdasarkan catatan pihak desa, Samiudin menjelaskan dari 900 kepala keluarga (KK) di Desa Giri Madya, 60 persennya berprofesi sebagai petani air nira. Ironisnya, sebagian besar dari petani tersebut memproduksi tuak toaq.
“Itu perkiraan kami ada sekitar 37 ribu liter per hari air nira diproduksi dari desa kami. Namun sekitar 20 ribu liter di antaranya diproduksi menjadi minuman keras ini, sisanya warga kita buat gula aren,” ungkapnya.
Menurutnya, para petani sebenarnya bisa memperoleh keuntungan besar jika dijual dalam bentuk lain, seperti tuak manis, gula aren, hingga serbat jahe. Hanya saja tidak banyak yang bisa mengkonsumsi minuman ini dengan jumlah produksi yang besar.
“Ini kan nilai jualnya cukup tinggi, tapi tidak semua gula yang dihasilkan petani bisa diproduksi menjadi produk tersebut. Kami benar-benar kesulitan untuk mengentaskan ini, ya paling tidak mengurangi,” imbuhnya. (dpi)