Mataram (Inside Lombok) – Penolakan buruh terhadap Undang-Undang Nomor 11/2020 atau UU Ciptakerja terus berlanjut. Pasalnya isi dari UU tersebut dinilai akan menyengsarakan para buruh atau pekerja seluruh Indonesia, termasuk di NTB. Lantaran beberapa poin yang ada di dalam UU Ciptakerja ini tidak sesuai, serikat pekerja meminta agar dibatalkan atau ditinjau kembali.
Serikat pekerja yang tergabung di Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) NTB dan Federasi Serikat Pekerja Pariwisata, Serikat Pekerja (PD F SP) Pariwisata NTB melakukan aksi protes mereka dengan mendatangi kantor DPRD NTB. Massa aksi ini meminta agar permintaan mereka dibawa ke komisi-komisi yang ada di dewan untuk segera dibahas dalam Rapat Paripurna.
“Dan ditunjukkan surat itu kepada DPR-RI dan kepada presiden untuk mereview (meninjau, Red) UU tersebut, membatalkan segala isi UU yang menyengsarakan daripada kaum buruh,” ungkap Penasehat Hukum KSPSI NTB, Muhammad Yames, Rabu (10/8).
Alasan serikat pekerja meminta agar UU Nomor 11/2020 ini dibatalkan, pertama karena UU Ciptakerja menodai UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi: setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kedua UU Ciptakerja menjatuhkan nasib pekerja mendapat pekerjaan yang layak. Ketiga UU Ciptakerja “Cacat secara formil” (Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020). Keempat UU Ciptakerja bentuk perbudakan di Negeri Demokrasi. Kelima UU Ciptakerja bentuk eksploitasi pekerja atau buruh, kemudian mimpi buruk bagi pekerja atau buruh dan momok bagi pekerja atau buruh.
“Kami minta undang-undang nomor 11 tahun 2020 untuk ditinjau kembali, undang-undang itu adalah undang-undang sesat yang menghantui seluruh buruh di Indonesia. Satu kata batalkan undang-undang no 11 tahun 2020, selesai persoalannya,” tegasnya.
Tuntutan para pekerja yang menolak UU Nomor 11/2020 ini sudah dilakukan cukup lama, bahkan di awal munculnya pembahasan tentang UU tersebut. Karena isi dari undang-undang tersebut masih banyak kelemahan-kelemahan, seperti sistem kerja, praktek outsourcing meluas, waktu kerja eksploitatif, berkurangnya hak cuti dan istirahat, rentan PHK, pesangon, outsourcing tidak ada pesangon.
“Suka tidak suka kami berkiblat pada kaum buruh, harapan kita semua daripada warga buruh seluruh Indonesia terutama yang ada di NTB ini. Kami mohon kepada dewan DPRD NTB ini untuk segera, dan apalagi sudah di tanda tangani dari utusan perwakilan dewan. Artinya mendukung secara sportif tentang apa yang kita perjuangkan hari ini,” jelasnya. (dpi)