Lombok Tengah (Inside Lombok)- Sebagian besar pengerajin ketak di Lombok Tengah memilih untuk banting setir akibat anjloknya harga kerajinan di masa pandemi Covid-19.
Di antaranya ada yang memilih untuk menganggur dan ada juga yang menjadi buruh tembakau di musim panen ini. Seperti yang terjadi di desa Beleka kecamatan Praya Timur.
Salah satu pengerajin, Supiati, Selasa (15/9/2020) mengatakan, dia dan beberapa pengerajin lainnya jadi tidak semangat untuk membuat kerajinan setelah harga anjlok. Tidak sesuai dengan harga modal dan waktu serta tenaga yang dikeluarkan.
“Kecupu (jenis kerajinan) itu sekarang harganya Rp 20 ribu. Biasanya Rp 30 ribu-Rp 35 ribu per biji”, katanya.
Masalahnya bukan hanya itu, namun pemasaran juga sulit kecuali dipesan langsung oleh pengusaha. “Kalau dulu walaupun tidak diorder kita kumpulkan soalnya pengepul datang ambil”, lanjutnya.
Saat ini, butuh berminggu-minggu bagi pengerajin untuk mendapatkan uang Rp100 ribu dari hasil menjual kerajinannya. Berbeda dengan dulu, dalam seminggu, pengerajin bisa mengantongi uang hingga Rp300 ribu dalam seminggu.
“Setelah covid-19 ini tidak ada pendapatan”,katanya.
Dia berharap ada perhatian pemerintah untuk memberikan bantuan bahan-bahan kerajinan kepada para pengerajin. Sehingga bisa terbantu secara ekonomi yang saat ini sedang sulit.
Meski diakui bahwa banyak pengerajin yang rata-rata merupakan perempuan ini akhirnya beralih menjadi buruh tembakau agar dapur tetap mengepul.
“Dulu tidak ada yang jadi buruh tembakau kalau perempuan karena kan kita pengerajin. Sekarang banyak yang jadi buruh”,imbuh Supiati.
Senada dengan itu, pengerajin lainnya, Ibu Anom mengatakan, pengerajin saat ini tidak terlalu fokus untuk menekuni kerajinan seperti dulu.
“Harganya turun sekarang. Jadi lebih baik kita jadi buruh tembakau. Lumayan dapat upah”,ujarnya.