Lombok Barat (Inside Lombok) – Bawaslu Lombok Barat (Lobar) temukan laporan terkait ratusan pemilih potensial yang sudah ter-coklit dan tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) ternyata tidak diberikan undangan untuk datang memilih ke TPS atau model C pemberitahuan – KWK oleh PPS di Kecamatan Gunungsari. Ketua Bawaslu Lobar, Rizal Umami menerangkan hal ini menimbulkan gejolak di tengah masyarakat, bahkan di internal penyelenggara pemilu sendiri.
“Itu kan di Gunungsari ada sekitar 800 orang diminta kepada KPPS untuk menahan (model c pemberitahuan KWK) sesuai instruksinya KPU itu,” beber Rizal saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Senin (25/11/2024).
Pihaknya menyoroti munculnya instruksi dari Ketua PPK kepada KPPS agar tidak memberikan form C pemberitahuan-KWK tersebut terhadap ratusan pemilih potensial yang sudah tercatat di DPT, lantaran para warga itu saat ini belum memegang KTP elektronik. Rizal pun mengaku cukup heran dengan munculnya instruksi tersebut.
Dijelaskan, jika para warga sudah ter-coklit dan tercatat dalam DPT, seharusnya data mereka untuk memperoleh KTP elektronik juga sudah terjamin. Minimal dengan surat keterangan, bahwa para pemilih potensial ini sudah berusia 17 tahun dan memiliki hak untuk memilih saat hari pencoblosan 27 November besok.
“Makanya, kami (Bawaslu, Red) juga heran, apa dasar mereka tidak diberikan surat pemberitahuan-KWK. Hanya karena pemilih potensial itu berusia 17 tahun saat hari pemungutan suara itu,” herannya. Menurutnya, bisa saja para pemilih potensial ini pada saat dicoklit menggunakan nomor KK, bukan KTP elektronik.
“Kalau misalnya mereka tidak punya KTP elektronik, itu kan tidak berhenti sampai di situ. Paling tidak data mereka itu kan bisa diintegrasikan dengan Dukcapil untuk menerbitkan semacam surat keterangan. Sebagai dasarnya untuk bisa memilih,” ketus dia.
Pihaknya menilai seharusnya tidak ada perintah untuk menahan model C pemberitahuan-KWK mereka. Padahal, kata Rizal, pendistribusian form C 6 itu sudah diatur dalam PKPU 17 tahun 2024 tentang penghitungan suara, pada pasal 4, 5 dan 6. “Kenapa kalau syaratnya KTP-E, kenapa tidak ada garansi orang untuk menunaikan haknya itu kan bisa diintegrasikan. Berapa data dari KPU (pemilih yang tidak memiliki E-KTP) dengan Disdukcapil,” tegasnya.
Diakui, hal ini akan menjadi masalah, bahkan berpotensi menjurus pada pelanggaran jika para pemilih potensial ini tak diberikan kesempatan untuk menyalurkan hak pilihnya. Padahal, orang-orang yang boleh tidak diberikan model C 6 pemberitahuan-KWK itu adalah orang yang meninggal. Kemudian, orang yang secara faktual sedang tidak berada di tempat atau menjadi TKI.
“Tetapi untuk orang-orang yang berada di DPT dan secara faktual dia berada di tempat dan sebelumnya sudah dicoklit. Apa dasar hukum mereka (KPU, Red) tidak memberikan C6 pemberitahuan itu?” tanyanya lagi.
Ditegaskan, memilih dan dipilih dalam negara demokrasi itu termasuk hak asasi setiap warga yang memenuhi syarat. Sehingga dalam hal ini, Rizal mengingatkan bahwa seharusnya penyelenggara Pemilu dapat menjamin hak masyarakat untuk memilih dan dipilih.
“Bukan hanya kecurangan, tapi kejahatan kalau sampai kita menghalang-halangi orang untuk tidak dapat memilih. Apalagi ini ribuan misalnya, kalau satu orang saja tidak dapat memilih tapi dia sudah ada namanya di DPT, itu harga mati harus diperjuangkan haknya,” tandasnya. (yud)