Mataram (Inside Lombok) –
Dinas Pendidikan Kota Mataram mengirimkan surat edaran kepada sekolah tingkat SD-SMP di Mataram. Surat edaran tersebut terkait penggunaan pakaian adat daerah di lingkungan sekolah pada minggu ketiga setiap bulan.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram, H. Lalu Fatwir Uzali Selasa (23/11) di Mataram mengatakan, penggunaan pakaian khas sasak ini masuk ke dalam materi pembelajaran muatan lokal, yaitu mengembangan kebudayaan daerah. Selain itu kebijakan ini bertujuan untuk mengembalikan suasana sekolah seperti sebelum pandemi Covid-19.
“Salah satu hal yang paling kita gampang kerjakan yaitu memakai baju-baju daerah tempat kita tinggal. Karena kita tinggal di Mataram, di Pulau Lombok, kita mencoba anak-anak dan guru-guru untuk menggunakan satu kali dalam satu bulan setiap minggu ketiga,” katanya.
Pakaian yang dianjurkan untuk digunakan yaitu pakaian sasak keseharian. Pakaiannya bukan pakaian sasak nyongkolan. “Perempuan mau pakai lambung bisa, kebaya bisa. Kita ingin karena akan beraktivitas di sekolah yang paling nyaman dipakai. Atasannya itu pakai jilbab. Tidak harus make up,” terangnya.
Sedangkan untuk laki-laki hanya disarankan untuk menggunakan sapuq dan sarung. “Mau pakai baju sekolah bisa, kaos bisa, tapi yang jelas pakai kain. Mau sarung atau apa kain yang lain,” katanya.
Kebijakan ini lanjut Fatwir untuk menggali kembali potensi budaya. Hal ini juga sudah dilakukan dua tahun yang lalu sebelum pandemi Covid-19 yang disebut dengan “Sabtu Budaya”. Aktivitas siswa pada saat menggunakan pakaian khas yaitu permainan anak-anak. Mengingat saat ini, permainan anak-anak sudah banyak ditinggalkan.
“Bisa main selodor, ada main cungklik itu dari olahraga. Kalau kuliner ada yang buat pelecing, dan lainnya. Lain lagi dalam sisi fesyen. Banyak hal yang bisa dikembangkan oleh pihak sekolah,” ujarnya.
Selain dari sisi permainan dan juga makanan, sekolah juga diharapkan memperkenalkan alat music tradisional dan bahasa daerah. Sehingga nantinya pada saat kebijakan tersebut mulai diberlakukan, para siswa dan guru harus menggunakan Bahasa Sasak di lingkungan sekolah.
“Kalau anak-anak yang ada di kampung tidak masalah, tapi ini ada anak-anak yang ada di komplek perumahan. Sehingga guru mulai menggali potensi-potensi Bahasa Sasak itu. Bahasa yang sederhana dulu,” ucap Fatwir.
Ditekankan Fatwir, kebijakan yang akan diterapkan tersebut tidak memberatkan semua pihak mulai dari guru hingga peserta didik. “Ini Sabtu Budaya yang sudah lama diterapkan. Hanya mengulang saja. Kalau untuk TK tidak diharuskan tapi kalau mau silahkan. Ada dalam surat itu tidak memberatkan,” tegasnya. (azm)