Mataram (Inside Lombok) – Gempa dengan Magnitudo 5.8 yang menggunjang Lombok pada Minggu (17/03/2019) pukul 14.03 Wita dengan pusat pada kedalaman 19 Km dan berjarak 20 Km dari arah utara Kota Selong, Lombok Timur (Lotim).
Banyak isu yang beredar di masyarakat bahwa gempa tersebut adalah jenis gempa yang sama seperti gempa dengan Magnitudo 7.0 yang melanda Lombok tahun lalu, yaitu gempa akibat aktifitas sesar naik flores (flores back arc) yang memang dikenal sebagai penyebab gempa-gempa besar di sepanjang wilayah utara Flores sampai dengan laut utara Lombok.
Menanggapi hal tersebut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui Kepala Stasiun Geofisika Mataram, Agus Riyanto, menerangkan bahwa gempa pada 17 Maret 2019 berbeda dengan gempa yang terjadi pada Agustus 2018 lalu.
Dengan memerhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, Agus menerangkan bahwa gempa bumi yang melanda wilayah Lombok Timur tersebut terjadi akibat aktivitas sesar di sekitar Gunung Rinjani. Berdasarkan hasil analisis mekanisme yang dilakukan BMKG, diketahui bahwa gempabumi ini dipicu oleh penyesaran turun (normal fault).
“Dari kajian yang ada untuk sumber gempa dari katifitas flores back arc thrust ada 7.4 (Magnitudo gempa, red.), tapi sudah teralisasi 29 Juli dan 5 Agustus kemarin, sehingga perlu waktu sampai kurang lebih 40 tahun lagi untuk mencapai energi maksimal,” ujar Agus melalui pesan singkat, Minggu (17/03/2019).
Selain itu, Agus juga menakankan bahwa dalam menyikapi gempa yang terjadi, masyarakat lebih baik mempertajam kemampuan serta pemahaman mitigasi bencana dan memberi pemahaman serta kesadaran bersama bahwa Lombok memang rawan gempa serta potensi tsunami.
“Apa yang kita siapkan sebelum, saat, dan setelah gempa. Masyarakat kita tidak butuh penjelasan teknis soal Magnituo maksimal apalagi soal sesar lokal. Yang penting bantu siapkan masyarakat kita bahwa bencana setiap saat dapat terjadi,” tegas Agus.