27.5 C
Mataram
Rabu, 1 Mei 2024
BerandaBerita UtamaMantan Karyawan Ungkap Kebijakan Perusahaan Retail Modern yang Merugikan Mereka

Mantan Karyawan Ungkap Kebijakan Perusahaan Retail Modern yang Merugikan Mereka

Lombok Barat (Inside Lombok) – Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Lombok Barat (Lobar) menerima laporan dari sekitar lima orang mantan karyawan salah satu perusahaan retail modern yang ada di Kediri, Lombok Barat, terkait kejanggalan dan ketidakadilan yang mereka rasakan selama bekerja. Dalam laporan itu, para karyawan mengaku tak diberikan uang pisah atau pesangon saat mengundurkan diri. Bahkan ada di antara mereka yang malah harus menggelontorkan uang untuk bisa menebus kembali ijazahnya.

Salah satu mantan karyawan yang melapor, Sri Rahayu mengaku saat mengajukan pengunduran diri ijazah miliknya memang ditahan pihak perusahaan. “Kemarin saya ijazahnya sempat ditahan (saat mengundurkan diri), tapi sekarang sudah keluar. Tapi harus saya lunasi pembebanan saya selama 11 tahun itu Rp27 juta,” ungkapnya saat ditemui di Kantor Disnaker Lobar, Kamis (15/12/2022).

Sri tentu tidak sendiri, beberapa rekannya yang mengundurkan diri juga mengalami hal serupa. Bahkan ada yang harus membayar sebesar Rp31 juta untuk bisa mengambil kembali ijazahnya. “Jadi kita kerja, setiap keluar ada bebannya, harus tebus ijazah itu dengan melunasi pembebanan itu,” beber dia.

Disebutnya, dalam kontrak kerja yang mereka tanda tangani, mereka mengaku tak ada penjelasan terkait pembebanan. Di mana pembebanan yang dimaksud terkait barang hilang, barang rusak dan barang yang tak bisa dikembalikan. “Kita sudah pernah ngomong ke atasan, cuma ditampung saja, tanpa solusi. Sampai saya keluar sekarang,” imbuhnya.

- Advertisement -

Sri yang sudah 11 tahun bekerja di perusahaan retail tersebut kemudian memilih untuk mengundurkan diri, lantaran banyak kebijakan perusahaan yang dirasa tidak masuk akal. Sehingga merugikan mereka sebagai karyawan.

Dicontohkan, seperti kebijakan perusahaan meminta karyawan membayar beban barang-barang cepat basi atau rusak seperti nasi atau pun kue basah. Mereka dibebankan untuk membayar setengah harga dari barang-barang tersebut jika tidak habis terjual.

“Jam 6 sore bisa kita jual setengah harga, tapi kan itu kondisinya sudah tidak layak dimakan dan sudah tidak enak. Itu berarti, jadi beban karyawan, kita yang harus bayar,” tuturnya.

Mau tidak mau, mereka pun terpaksa harus membayar barang tersebut. Karena jika tidak, jumlah barang yang tidak laku per harinya akan diakumulasi dan gaji mereka akan dipotong. Bahkan, ada yang harus membayar hingga Rp60-100 ribu.

“Kita harus bayar 50 persen dari harga, misalnya harga nasi Rp10 ribu, ditransaksikan (dibayar) jam 6 itu Rp5 ribu dari barang yang tersisa,” keluhnya.

Kebijakan itu dirasa sangat memberatkan mereka. Lantaran ada yang gaji per harinya mendapatkan Rp91 ribu. Karyawan pun merasa tidak bisa memperoleh gaji tersebut jika harus digunakan untuk membayar barang yang rusak tersebut.

“Iya kalau diakumulasi untuk ganti barang yang rusak itu gaji kita habis. Jadi kita hanya mengharapkan insentif penjualan, kalau misalnya per bulan dapat insentif, nah itu dah sebagai pengganti uang kita yang untuk bayar-bayar itu. Kalau gak dapat insentif, ya pakai gaji kita,” beber Sri.

Bahkan, gaji mereka pun sebagian besar masih di bawah UMR. Dia menyebut, untuk staf yang bukan supervisor gajinya berkisar Rp1.886.000, yang kemudian harus dipotong juga dengan pembebanan setiap bulannya. Sehingga mereka hanya menerima gaji bersih perbulan Rp1,6 juta.

Sementara itu, Kabid Mediasi Pekerja Disnaker Lobar, Asmuni Hadi mengakui bahwa pihaknya telah memfasilitasi mediasi antara pekerja tersebut dengan pihak perusahaan retail terkait.

“Pertemuan yang diadakan oleh perusahaan yang ada di Kediri dan di wilayah kerja Lombok Barat dengan pihak karyawan. Tadi ada bipartit (perundingan antara pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan). Di mana kami dari pihak pemerintah belum bisa untuk ikut campur penyelesain permasalahan karyawan dan perusahaan,” terang Asmuni.

Kecuali, kata dia, bila dalam proses bipartit itu tak kunjung ada titik temu dari kedua belah pihak, baru kemudian statusnya akan dinaikkan menjadi tripartit. Di mana pihak dinas memiliki kewenangan untuk membantu mencarikan solusi untuk kedua belah pihak.

“Penyampaian dari teman-teman (karyawan) ini kan kita lihat dulu. Belum sepenuhnya saya ikuti, karena kami belum berhak dari pihak pemerintah,” katanya menambahkan. Namun, dari surat yang telah diterima pihaknya, yang akan menjadi atensi juga terkait sistem pengupahan, serta sistem aturan yang diterapkan oleh perusahaan terkait. (yud)

- Advertisement -

Berita Populer