Mataram (Inside Lombok) – Penggunaan bahasa daerah sudah mulai berkurang. Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) RI, sebanyak 11 bahasa daerah sudah hilang atau punah. Bahasa Sasak sendiri terancam mengalami kemunduran, karena banyak masyarakat lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Ristek RI, Prof. H. E Aminuddin Aziz, Jumat (18/6) mengatakan revitalisasi bahasa daerah dibutuhkan sebagai upaya mempertahankan agar bahasa daerah tidak punah. Penggunaan bahasa daerah harus dilakukan secara meluas terutama oleh generasi muda.
“Kita akan hidupkan kembali bahasa daerah. Bahasa itu akan hidup kalau terus dipakai. Oleh karena itu prinsip kita dalam revitalisasi ini bagaimana bahasa itu dipakai secara meluas,” katanya.
Pelestarian bahasa tidak saja tugas pemerintah, melainkan semua elemen termasuk keluarga. Karena bahasa daerah paling berpotensi digunakan di dalam keluarga. Revitalisasi bahasa daerah sangat penting, karena bahasa yang aman hanya 18 bahasa. Belasan bahasa tersebut karena masih digunakan oleh semua orang termasuk anak-anak yang ada di etnik tersebut.
Selain itu, sebanyak 31 bahasa masuk dalam kondisi rentan. Hal ini disebabkan karena jumlah penutur relatif menurun. “Hingga 2021 sebanyak 41 bahasa mengalami kemunduran karena sebagian penutur baik anak-anak hingga orang tua tidak menggunakan bahasa daerah,” kata Aminuddin.
Kemendikbud Ristek RI juga mencatat sebanyak 29 bahasa yang saat ini sudah hampir punah. Hal ini karena mayoritas penutur yang berusia 20 tahun keatas dan generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka dengan bahasa daerah.
“Ada 8 bahasa di Indonesia sudah masuk kategori kritis. Karena penuturnya hanya kelompok masyarakat berusia 40 tahun keatas dan jumlahnya sangat sedikit,” ungkapnya.
Berkurangnya penutur bahasa daerah ini tidak saja terjadi di Indonesia melainkan secara global. Salah satu faktor penyebabnya adalah mobilitas tinggi dan kawin silang.
“Ada yang menganggap karena sudah tidak lagi pakai bahasa daerahnya. Ada juga karena penutur yang meninggal akibat bencana misalnya wabah Covid-19 kemarin. Mereka adalah penutur bahasa daerah makanya menurun,” katanya.
Revitalisasi bahasa daerah ini dilakukan agar bahasa daerah bisa tetap digunakan. Langkah nyata yang akan dilakukan seperti memasukkan materi bahasa daerah menjadi kurikulum. “Ini langkah kecil kita dan pasti akan membesar. Kalau jadi gerakan bersama saya yakin akan berhasil,” ucapnya.
Tingkat awal secara nasional yang mulai dilakukan yaitu dengan menggunakan bahasa daerah dalam proses pembelajaran. Penggunaan bahasa daerah ini dinilai akan lebih efektif dan menarik terutama untuk tingkat awal. “Ini ketika anak-anak belum bisa bahasa Indonesia atau bahasa asing. Kalau kelas satu tidak bisa bahasa indonesia gunakan bahasa sasak,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTB, Puji Retno Hardiningtyas mengatakan penutur bahasa daerah di tiga bahasa di Provinsi NTB masih cukup tinggi. Disebutkan, untuk Bahasa Sasak jumlah penuturnya sebanyak 3,8 juta orang penutur, Bahasa Samawa sebanyak 900 ribu penutur, dan untuk Bahasa Mbojo 800 ribu orang penutur.
“Bahasa Sasak mengalami kemunduran dalam hal bahasa komunikasi sehari-hari, anak-anak sama orang tua lebih cenderung sering menggunakan Bahasa Indonesia daripada bahasa daerah (Bahasa Sasak, Red),” pungkasnya. (azm)