Mataram (Inside Lombok) – Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar (OIAA) Indonesia, TGB H. M. Zainul Majdi merespon surat edaran dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengenai aturan pengeras suara. Mantan Gubernur NTB tersebut menyarankan, surat edaran yang dibuat tidak hanya menyangkut masjid dan musala.
TGB yakin niat dari Menteri Agama adalah baik. Sosok Yaqut Cholil dinilai TGB sebagai seorang tokoh dari organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. “Kemudian juga putra dari seorang ulama besar Almaghfurlah Kiai Cholil Bisri Rembang. Jadi, niat beliau pasti baik,” katanya.
Kendati demikian, dari surat edaran itu diakui TGB memang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Sebagai bahan untuk mengoreksi yang pertama salah satu kaidah paling mendasar di dalam membuat suatu kebijakan publik itu adalah imparsialitas.
“Artinya rata, seimbang, adil, tidak memihak. Karena itu kalau ingin menciptakan pengaturan, maka seharusnya yang diatur itu bukan hanya masjid dan musala,” jelas TGB.
Ketua Umum PB Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) ini mengungkapkan, pengeras suara tak hanya digunakan di musala dan masjid. Pengeras suara juga dipakai di tempat ibadah yang lain. Ada momen-momen di mana acara ritual keagamaan itu juga mengeluarkan suara yang cukup besar.
“Sehingga menurut saya kalau memang mau membuat satu surat edaran untuk mengatur penggunaan pengeras suara di rumah ibadah, jauh lebih baik tidak hanya menyangkut masjid dan musala,” lanjutnya.
Hal ini, sambung doktor ahli tafsir ini, supaya tidak kemudian menciptakan kesan bahwa seakan-akan yang berpotensial mengganggu ketenangan atau ketentraman itu hanya suara yang keluar dari masjid dan musala. Sementara semua tahu, rumah ibadah non Islam itu juga mengeluarkan suara kidung-kidung, lagu-lagu pujian, lagu-lagu keagamaan.
“Di banyak tempat di Indonesia sesungguhnya masjid itu tidak hanya tempat berkumpul untuk salat. Pengeras suara masjid itu juga tidak hanya fungsinya untuk digunakan azan dan iqamat saja atau mengaji, di banyak tempat di Indonesia juga Lombok rata-rata masyarakat menjadikan masjid sebagai sentral kegiatan,” ujarnya.
Sehingga dari pengeras suara di masjid itu digunakan untuk mengumumkan ada kematian kemudian kalau ada kegiatan gotong royong, dan ada kegiatan kemasyarakatan lainnya. Pengeras suara masjid atau musala memiliki juga fungsi sosial budaya.
Jadi, menurut TGB di daerah-daerah seperti di NTB justru pengeras suara masjid itu bukan mengganggu. Sebaliknya, malah menjadi rujukan dari masyarakat di desa. “Karena di situ sekali lagi bisa juga digunakan untuk banyak pengumuman-pengumuman yang menjadi perhatian dari masyarakat,” ujarnya.
Yang justru bermasalah, kata TGB adalah di masyarakat perkotaan. Di perkotaan tidak hanya satu agama. Seperti di Jakarta, penduduknya heterogen memungkinkan untuk diatur.
Meski begitu, sambung TGB, pengaturan ini lebih baik diserahkan kepada kearifan bersama. Di Indonesia ada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), sesuai namanya forum ini kerjasama umat beragama.
Untuk daerah-daerah tertentu di mana masyarakatnya sangat heterogen penggunaan pengeras suara di rumah ibadah itu diakui perlu disesuaikan tak terlalu besar. “Diserahkan kepada FKUB untuk kemudian membuat kesepakatan bersama. Kesepakatan itu lahir dan dibicarakan di tingkat masyarakat dan disepakati itu akan jauh lebih mudah diterima. Dibanding surat edaran yang isinya berlaku untuk semua padahal situasi masing-masing daerah itu beda-beda,” sambungnya.
Di NTB yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid, ucap TGB, suara dari masjid yang dirindukan. Suara yang justru menjadi penyejuk, tidak ada yang merasa terganggu. Bila hal ini berkenan dikoreksi menjadi hal bagus, sehingga tidak terkesan hanya menyasar kepada masjid dan musala. (azm)