Berbicara tentang pemilihan umum (pemilu), khususnya pemilu legislatif, kita sudah akrab
dengan sistem pemilu proporsional. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sejak pemilu 1955
hingga pemilu 2019, selalu menggunakan sistem proporsional—baik model terbuka maupun
tertutup, dan pada pemilu 2024 mendatang, sistem ini akan kembali digunakan.
Para ahli telah mengulas secara terperinci tentang sistem proporsional, dari segi konseptual
maupun praktikal. Namun, melihat fakta lapangan, muncul pertanyaan: apakah dalam
pelaksanaannya sudah benar-benar proporsional?
Pertanyaan ini menjadi relevan karena ada satu sisi penting yang bersifat sangat mendasar. Namun seringkali terabaikan. Sisi penting itu adalah akurasi data kependudukan yang digunakan sebagai basis alokasi kursi untuk masing-masing daerah pemilihan (dapil).
Dalam sistem proporsional (proportional representation), jumlah kursi per dapil tergantung dari jumlah penduduk di dapil tersebut. Dengan kata lain, jumlah penduduk merupakan faktor kunci yang menentukan jumlah kursi.
Untuk menegaskan posisi kunci jumlah penduduk tersebut, penulis meminjam penjelasan
sederhana dua orang ahli dan peneliti—dari sekian banyak ahli. Seorang peneliti—yang
termuat dalam Jurnal Yustisia Universitas Sebelas Maret (2012)—menyatakan sistem
proporsional pada intinya menghendaki bahwa jumlah wakil rakyat yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat merupakan potret statistik penduduk.
Demikian juga August Mellaz—sebagaimana dilansir rumahpemilu.org (postingan 23 Agustus 2016)—menjelaskan bahwa proporsional dalam hal ini bermakna perimbangan antara jumlah penduduk/pemilih dengan jumlah kursi, serta perimbangan antara perolehan suara pemilu dengan perolehan kursi.
Artinya, prinsip proporsional itu diterapkan sejak pra pemilihan—yaitu saat penataan dapil dan alokasi kursi per dapil—hingga pasca pemilihan, yaitu penentuan perolehan kursi per partai politik berdasarkan perolehan suara pemilih.
Mengukur Proporsionalitas
Kembali ke sisi penting yang menjadi sorotan penulis, yaitu soal akurasi data kependudukan. Kita ketahui, bahwa alokasi per dapil didasarkan pada data agregat kependudukan per kecamatan (DAK2) yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) membandingkan DAK2 yang digunakan untuk pemilu 2019 dan DAK2 untuk pemilu 2024. Dari hasil pencermatan, tidak kurang dari 41 kabupaten/kota yang mengalami penambahan jumlah kursi DPRD akibat penambahan jumlah penduduk, dan 8 kabupaten/kota mengalami pengurangan jumlah kursi akibat pengurangan jumlah penduduk.
Terlepas dari dampak apapun yang dapat ditimbulkan, satu hal yang pasti, bahwa fenomena kependudukan tersebut merupakan akibat dari dinamika DAK2. Karena itu, penting untuk kita meninjau pola dinamika kependudukan per kecamatan di setiap kabupaten/kota. Sebut saja sebagai contoh di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dalam berbagai kesempatan di forum publik, data kependudukan Kabupaten Lombok Tengah menjadi pertanyaan publik dari berbagai kalangan. Di kabupaten yang terdiri dari 12 kecamatan ini terjadi perubahan jumlah penduduk yang sangat variatif antar kecamatan. Jumlah penduduk bertambah di 10 kecamatan dan berkurang di 2 kecamatan.
Penambahan yang sangat tinggi—dan jauh melampaui kecamatan lain—terjadi di Kecamatan Jonggat, yaitu 11,4 ribu jiwa. Sementara di Kecamatan Janapria—dalam waktu yang bersamaan—hanya bertambah 203 jiwa. Di sisi lain, dua kecamatan mengalami penurunan jumlah penduduk, yaitu Kecamatan Batukliang Utara berkurang 2,3 ribu jiwa dan Kecamatan Praya Timur berkurang 1 ribu jiwa.
Fenomena demografi ini menimbulkan pertanyaan publik: peristiwa apakah yang pernah terjadi hingga menyebabkan pengurangan jumlah penduduk dalam jumlah yang sangat besar?
Secara kasat mata, tidak pernah terjadi peristiwa penting yang menyebabkan kematian massal ataupun eksodus besar-besaran dari kedua kecamatan yang mengalami penurunan jumlah penduduk. Begitu juga tidak ada daya tarik khusus yang dapat menyebabkan perpindahan penduduk dalam jumlah besar ke kecamatan tertentu. Intinya, tidak ada fenomena demografis yang menonjol yang dapat menyebabkan ketimpangan jumlah penduduk demikian besar antar kecamatan.
Dalam konteks ini, data itu menjadi penting dipertanyakan karena berkaitan langsung dengan proporsionalitas alokasi kursi per dapil. Penambahan penduduk yang tertinggi di Jonggat, misalnya, menyebabkan penambahan 1 kursi untuk dapil Jonggat-Pringgarata dan berakibat berkurangnya 1 kursi di dapil lain.
Apa yang harus dilakukan?
Dalam pengoperasian sistem proporsional, baik pra maupun pasca pemilihan, telah dirancang metode matematis yang mapan. Metode itu ibarat mesin pengolah yang membutuhkan bahan baku yang baik berupa data kependudukan yang akurat. Sebagai bahan baku utama, data kependudukan yang tidak akurat bisa mengakibatkan alokasi kursi yang tidak proporsional untuk masing-masing dapil. Dengan sendirinya hal ini akan mereduksi makna proporsional dalam tataran praksis.
Sebab itu, dinamika data kependudukan yang tampak janggal dan dipertanyakan oleh publik, harus diberikan rasionalisasi yang memadai. Penjelasan yang diberikan—oleh institusi yang membidangi kependudukan—selama ini cenderung normatif dan belum mampu menjawab pertanyaan publik secara utuh.
Lebih dari itu, data kependudukan yang tidak akurat akan berdampak negatif ke tahapan
lainnya dalam penyelenggaraan pemilu, seperti akurasi daftar pemilih dan jumlah dukungan minimal calon peserta pemilu. Karena itu, data kependudukan mesti mendapatkan atensi serius dari semua pihak demi mendukung terwujudnya sistem demokrasi yang berkeadilan. Wallaahu a’lamu bisshawaab.
L. Fauzan Hadi, lahir 13 September 1982 di Cempaka Putih, Desa Aik Dareq, Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah. Menyelesaikan S1 di Fakultas Pertanian Unram. Pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan/HMJ (2004-2005), Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa FP Unram (2005-2006), Ketua Umum HMI Cabang Mataram (2007-2008). Saat ini menjadi Anggota Bawaslu Kabupaten Lombok Tengah periode 2018-2023.