Aku pernah berulang kali membenturkan diriku dengan harapan dapat menembus tempat ini. Namun tak pernah berhasil. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk tak membenturkan diri lagi. Lagi pula, makanan akan datang tiga atau empat kali dari atas. Tempat ini dibersihkan dengan alat yang entah apa namanya, berhiaskan rumput dan kerikil yang membuatku nyaman. Mungkin tempat ini lebih baik dibanding menembus keluar entah ke mana.
Awalnya aku merasa kesepian, tapi sekarang tidak. Jika aku melihat pembatas transparan dan menfokuskan dalam ruang, aku dapat melihat pantulan diriku. Itu bukan aku, hanya bayangan yang mirip, sangat mirip denganku. Aku menamainya Tampan.
“Aku suka siripmu, sangat berkilau,” ucapku padanya.
“Aku suka matamu, sangat anggun,” ucapku lagi, seolah dia membalas ucapanku.
“Tunggu, apa itu di siripmu? Seperti ada noda hitam yang menempel.”
Aku lekas menggoyang-goyangkan badan. Noda hitam itu perlahan jatuh seperti kotoranku.
“Ah, hanya noda hitam. Lihat, sekarang sudah tidak ada. Kamu tampak sempurna.”
“Bisa saja, kamulah yang tampak sempurna.”
Mata Tampan sangat anggun. Aku bisa betah berhari-hari melihat betapa menakjubkan dia. Jika aku berenang, dia juga ikut berenang. Jika aku diam, dia juga ikut diam. Jika aku makan, dia juga ikut makan. Rasanya aku seperti mempunyai saudara kembar yang sangat menyenangkan.
Aku juga bisa melihat banyak hal dalam tempat transparan ini. Jika pandangan kufokuskan untuk melihat luar, aku bisa melihat raksasa yang sesekali mengelilingiku. Kadang dia melihatku lebih dekat sehingga matanya terlihat dua kali lebih besar. Raksasa selalu tersenyum ketika melihatku, terkadang aku mendengar dia berucap ‘Seratus Jutaku’ atau ‘Simbol Keberuntunganku’ seolah itu adalah nama panggilanku. Ada juga raksasa kecil yang suka menempelkan hidung dan bibirnya di pembatas transparan—lubang hidungnya seperti goa yang bisa kumasuki—raksasa besar tak pernah membiarkan raksasa kecil berlama-lama memandangku.
Kugerakkan sirip-siripku berenang—ke atas, ke samping, atau ke bawah—sesukaku. Sesekali melihat Tampan yang juga ikut berenang denganku. Kadang aku merasa dia bukanlah aku, kadang pula aku merasa dia adalah aku. Siripnya bergemulai sangat cantik, membuatku merasa iri.
Pandanganku buyar begitu merasakan guncangan. Dari atas sesuatu sedang jatuh perlahan, tapi bukan makanan, aku tak begitu mengerti apa itu, yang jelas itu adalah sesuatu yang berbahaya jika dibiarkan. Sekitarku bergetar, membuatku merinding.
Ada suara tawa di luar.
Raksasa kecil. Ah, raksasa kecil itu. Bagaimana bisa dia memasukkan tangannya ke dalam sini? Aku melihat sekeliling, tidak ada tanda-tanda raksasa besar akan muncul. Tidak, aku harus bagaimana?
Tangan raksasa kecil mungkin sama ukurannya dengan kepalaku, mungkin dia akan meremas kepalaku. Tangan satunya ikut masuk ke dalam, membuatku susah untuk menghindar. Aku berusaha berenang ke bawah, tapi tangan-tangannya berhasil menyentuh rumput dan kerikil-kerikil, mereka berhamburan hampir mengenai siripku.
Aku harus ke mana?
Tidak ada jalan lain, selain hanya memutari tempat ini. Memang benar dugaan pertamaku, seharusnya dulu aku membenturkan diriku lebih keras agar keluar dari tempat ini. Sekarang aku terjebak bersama dua tangan menyebalkan yang terus-terusan mengejarku.
Pusing, aku merasa semua berputar-putar. Suara tawa dari luar seolah berasal dari dalam kepalaku, rasanya badanku tak lagi menyatu.
***
Pandanganku sedikit rabun. Lama-kelamaan semua jadi tampak jelas. Kulihat atas, masih seperti biasa, air beriak karena alat yang entah apa namanya menyala. Bawah, kerikil diam, rumput-rumput menari.
Mimpi apa aku tadi? Ah, ya, dua tangan mengerikan mengejarku.
Aku beralih melihat ke samping. Tampan terlihat berbeda. Kuperhatikan dia dari depan sampai belakang. Siripnya patah, beberapa sisiknya terkelupas. Bagaimana bisa?
Kuperhatikan lagi, kali ini aku tak sanggup melihatnya lebih lama. Dia terlihat jelek seperti ikan gila yang tak pernah bahagia.
“Tunggu dulu.” Aku teringat sesuatu. Tampan adalah aku dan aku adalah Tampan.
“Aku jelek,” ucapku.
“Aku jelek,” ucap Tampan.
“Jelek.” Kubenturkan kepala berulang kali.
“Jelek sekali.” Sesekali bayangan Tampan tampak menyindirku, mengejekku, menghinaku.
Tidak, tidak. Dia bukan lagi Tampan, dia adalah Buruk Rupa. Seburuk-buruknya rupa yang pernah kulihat, dia ikan paling jelek yang ada di dunia.
Buruk Rupa melihatku dengan tatapan tajam, tajam sekali sampai membuatku menangis. “Jelek…”
Mengapa aku mengalami hal seburuk ini? Apa benar itu adalah bayanganku sendiri? Pasti nanti sirip dan sisikku akan kembali normal. Tidak, tidak, itu memerlukan waktu yang lama, mungkin juga takkan kembali lagi. Di depan dan di belakang, aku diikuti Buruk Rupa, aku kembali membenturkan kepala karena muak melihatnya, juga karena ingin pergi dari sini. Kepalaku terasa akan pecah, berhamburan seperti kerikil, warna merah menguap dari atas kepalaku.
Aku kembali melihat si Buruk Rupa. Aku memutuskan untuk menghindarinya, berenang menghadap ke atas, mendengarkan air-air beriak. Tidak ada Tampan ataupun Buruk Rupa di atas sini, yang ada hanyalah aku dan pikiranku sendiri.
Dari luar terdengar suara raksasa kecil. Kali ini bukan suara tawa melainkan jeritan dan tangisan. Diikuti dengan suara raksasa besar yang menggelegar. “Anak tidak berharga! Ikan itu seharga seratus juta! Dasar Bodoh!”
Mataram, 16 Februari 2022
Nuraisah Maulida Adnani lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Saat ini mengelola perpustakaan komunitas Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.