Catatan Perjalanan di Suatu Pagi
Menembus tebal kabut jalanan yang masih sepi;
pepohonan begitu seperti bayang-bayang hidup.
Mungkin hewan, siluman, atau yang lain lintasi;
mungkin sekadar tuk mencari napas menghirup.
Ada yang merawat kesendirian di hati yang subur:
tumbuh dan berbunga begitu banyak begitu indahnya.
Ada harapan agar wanginya memanggil-menegur,
tercium hingga jauh, memanggil datang suatu bahgia.
Kala lintasi sebuah hutan yang teramat rimbun,
terbesit niat tuk sembunyikan pohon sebuah.
Niat ini hati sembunyikan rindu yang menahun,
tetapi takut wangi berbunga harum merekah!
Ada sebuah benih tumbuh di dalam ini dada;
perlahan tumbuh mekar indah wangi-beraroma.
Pagi tadi, petik persembahkan kepada dewa
yang pisahkan tanpa terlebih dahulu bertanya!
(2020—2022)
Selepas Melintasi
Sebuah Hutan Teramat Rimbun
Kala istirah di pinggiran jalan, kepala pandang kejauhan;
pemandangan seketika ingatkan, buat melayang ke masa kanak.
Segera keluarkan kertas jua hitam tinta, hasil menukar pakaian;
tulis rindu dalam sajak, sebab tiada dapat berbuat banyak.
(2020—2022)
Catatan di Musim Penghujan
Teringat pada musim kemarau, yang penuh dengan risau,
di mana tatkala malam tiba, dingin terasa menusuk benar.
Sekarang, hujan memang datang, tapi tiada bawakan kau;
hanya dibawanya kesedihan, yang silih berganti berkabar.
(2020—2022)
Ada yang Katakan agar Tunggu Sampai Reda,
tapi Pemuda Pengembara Sopan Menolak dengan Berkata
Deras hujan sedari pagi masihlah belum mau berhenti,
tetapi kembara tetap mesti ditempuh oleh sepasang kaki.
Dengan payung daun talas di tangan melangkah pelan;
semoga tiada terpeleset ketika lintasi batu pipih pijakan.
(2021)
Keluar dari Pondokan Murah;
Lanjutkan Kembara
Selepas Deras Hujan Semalam
Di atas jembatan kayu, pandang ke arah bawah,
melihat aliran sungai terbawa menuju kota lainnya.
Ikan-ikan terlihat sedang melawan arus berarah;
sedikit ke depan, dapati kanak main riang-gembira.
(2020—2022)
Catatan Pemuda Pengembara
Kala Dapati Anak-Anak
yang Bermain dengan Semarak
Anak-anak menata pipih bebatu dan pecah genting;
serupa pagoda tegak yang tiada condong-miring.
Ah! teringat segera kepada lakon-cerita leluhur tua:
seekor ular putih dan tabib yang saling mencinta.
(2020)
Dari Sebuah Paviliun Kecil Selepas Hujan
Sisa air hujan menetes dari daun pisang;
jatuh ke genangan, mengaburkan bayang-bayang.
Seekor katak tetap diam tiada meloncat;
bila diri dekati pasti ‘kan lekas berpindah tempat.
(2020—2022)
Polanco S. Achri lahir dan tinggal di Yogyakarta. Seorang lulusan jurusan sastra yang kini menjadi pengajar di sebuah SMK di Sleman. Menulis sajak, prosa-fiksi, dan esai pendek. Beberapa tulisannya terpublikasi di media, baik cetak maupun daring. Dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan Instagram: polanco_achri.