Lombok Barat (Inside Lombok) – Salah satu kendala yang dinilai cukup berpengaruh dalam penanganan bencana selama ini adalah kurangnya koordinasi antara lembaga terkait. Hal tersebut menyiratkan bahwa tata kelola pemerintahan yang bagus terkait kebencanaan masih belum tercapai.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan Mataram, I Nyoman Sidakarya mengakui Basarnas Mataram memang saat ini tidak bisa bekerja sendirian. Terlebih dengan kondisi personel dan fasilitas yang terbatas. Sehingga kolaborasi dengan semua instansi terkait mutlak dibutuhkan.
“Apalagi wilayah kerja kami ini kan sampai Sumbawa dan Bima,” ujarnya, Kamis (11/07/2019) seperti dikutip dari rilis resminya.
Menurut Sidakarya kerja sama dengan instansi terkait sangat dibutuhkan. Dicontohkan ketika terjadi bencana gempa tahun lalu Basarnas Mataram sempat kesulitan mengevakuasi wisatawan yang ada di Gili Trawangan akibat kapasitas kapal evakuasi Basarnas Mataram memiliki kapasitas terbatas mengangkut wisatawan. Beruntung bantuan dari pihak terkait seperti ASDP, TNI Polri dan lain sebagainya bisa ikut mengevakuasi warga.
“Kami berencana akan mengajukan tambahan fasilitas untuk mendukung operasional Basarnas Mataram,” ujar Sidakarya.
Menambahkan hal tersebut Kepala Biro Hukum dan Kepegawaian Badan Nasional dan Pertolongan (Basarnas), Abdul Haris Achadi, menerangkan bahwa pengurangan risiko bencana di Indonesia secara umum memang masih sangat rendah. Padahal upaya penyelamatan pascabencana terjadi itu dipatok berlangsung selama lima hari semetara operasi SAR dipatok sampai dengan tujuh hari.
“Menurut survei, orang yang terdampak bencana berpeluang masih hidup itu sampai hari ke lima,” ujar Abdul.
Karena itu, salah satu masalah yang dianggap menjadi penyebab kerancuan proses penyelamatan dan hasil adalah tata kelola lembaga pemerintahan terkait yang masih belum rapi. Abdul sendiri berharap untuk kedepannya ada tindakan percepatan respon dari tim terpadu kebencanaan.
Abdul menerangkan bahwa Basarnas Mataram, dengan kepemimpinan yang bagus, harusnya menerapkan sistem kolaboratif desentralisasi. Karena mau tidak mau harus diakui, bahwa Basarnas tidak bisa bekerja sendirian dalam menangani dampak kebencanaan yang terjadi.
Dalam penyelamatan atau evakuasi warga korban bencana, SAR tidak mengenal istilah sukses individu. Namun lebih pada kerja sama tim dengan semua stakeholder terkait. Apalagi warga yang terdampak berada di daerah. Sehingga sudah selayaknya peran daerah juga harus maksimal di lapangan.
Diterangkan Abdul bencana tidak bisa diprediksi. Sehingga jalan satu-satunya adalah memperkuat koordinasi dan kesiagaan pra bencana. Termasuk pemberdayaan masyarakat yang berkaitan dengan mitigasi.
“Sehingga respons yang bagus sebelum bencana kita harapkan bisa menekan risiko dampak bencana,” pungkas Abdul.