29.5 C
Mataram
Selasa, 16 April 2024
BerandaBerita UtamaBelum Berjalan, Instruksi Gubernur NTB Soal Penanganan Stunting Malah Dicabut

Belum Berjalan, Instruksi Gubernur NTB Soal Penanganan Stunting Malah Dicabut

Mataram (Inside Lombok) – Angka stunting di NTB cukup tinggi, mencapai 84 ribu kasus. Kondisi itu membuat NTB masuk dalam 12 daerah yang harus melakukan percepatan penanganan stunting.

Untuk penanganan stunting ini, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) NTB, Iswandi sebelumnya berencana melibatkan seluruh ASN untuk ikut menanganinya melalui pemotongan tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) melalui instruksi yang dikeluarkan Gubernur. Namun sampai saat ini rencana itu belum juga dijalankan.

“Pertama saya tegaskan bahwa Instruksi Gubernur tentang stunting itu dicabut, mulai hari ini,” tegasnya, Rabu (28/9/2022) sore.

Untuk itu lanjut Iswandi, instruksi Gubernur nomor 050-13/606/KUM/2022 tentang Optimalisasi Posyandu Keluarga dalam Upaya Percepatan Penurunan Stunting di Provinsi NTB dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.

- Advertisement -

Ditegaskannya, penggalangan dana orang tua asuh melalui pemotongan dana TPP para ASN tersebut belum berjalan. Selama instruksi dikeluarkan, pemotongan TPP ASN lingkup Pemprov NTB belum dilakukan.

Selain itu, dalam instruksi yang dikeluarkan tidak ada tercantum tentang pemotongan, hanya saja anak bayi stunting diharapkan mendapatkan bantuan senilai Rp500 ribu per bulan.

“Tidak ada yang menyebut PNS, itu tidak ada. Tapi itu yang ditafsirkan secara keliru seakan-akan bahwa nanti PNS yang akan menyumbang Rp500 ribu itu tidak ada,” katanya.

Upaya untuk penurunan stunting akan terus digalakkan dengan inovasi-inovasi yang tidak menimbulkan resistensi dari kelompok manapun.

Lebih lanjut Iswandi mengatakan Provinsi NTB mempunyai angka prevalensi stunting tergolong tinggi. Sehingga, upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan memaksimalkan posyandu keluarga yang tersebar di seluruh kabupaten/kota se-NTB.

‘’Misalnya, dengan pemberian makanan tambahan, seperti protein hewani pada anak penderita stunting,” jelas Iswandi.

Setelah instruksi tersebut dicabut, penanganan kasus stunting saat ini hanya bersifat imbaunan saja kepada semua pihak. Pencabutan instruksi ini karena adanya salah tafsir, sehingga menyebabkan adanya penolakan.

“Itu kan salah tafsir yang berkembang di media, bahwa itu nanti bersifat pemaksaan. Daripada berpolemik seperti itu, tidak produktif dan banyak masukan dan saran bahwa itu partisipasi masyarakat bisa digalang melalui imbauan-imbauan,” ungkapnya.

Iswandi juga mengajak semua pihak untuk bersinergi dan berkolaborasi, menurunkan angka stunting. Target NTB menurunkan prevalensi stunting hingga 14 persen pada tahun 2024. (azm)

- Advertisement -

Berita Populer