32.5 C
Mataram
Rabu, 16 Oktober 2024
BerandaInsiderWas-Was Harga Akomodasi Jelang MotoGP Mandalika

Was-Was Harga Akomodasi Jelang MotoGP Mandalika

Mataram (Inside Lombok) – MotoGP Mandalika siap digelar 27-29 September 2024 mendatang. Meski begitu, mahalnya akomodasi penonton untuk menyaksikan seri balap motor dunia itu di Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) masih menjadi masalah tahunan yang terus diatensi, salah satunya harga tiket pesawat terbang.

Saat ini, harga tiket pesawat memang tidak pernah sama lagi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan pengunjung domestik ke NTB melalui transportasi udara mengalami penurunan sejak 2018, dan tidak pernah lagi bisa mencapai titik yang sama seperti di akhir 2017.

Penurunan itu terjadi bertepatan dengan terbitnya peraturan batas atas dan bawah harga tiket, disusul dengan pandemi Covid-19 pada 2020 sampai dengan mendekati akhir 2021. Sampai saat ini, psikologi di masyarakat masih mengharapkan tiket bisa semurah sebelum adanya aturan batas atas dan bawah harga tiket, terutama bagi mereka para perantau dan traveler, tidak terkecuali penonton potensial MotoGP dari dalam negeri.

- Advertisement -

Lebih Murah ke Luar Negeri

Ada satu kondisi yang menjadi sorotan saat ini, yaitu harga tiket pesawat untuk sekali jalan di dalam negeri jauh lebih tinggi dibandingkan ke luar negeri. Akibatnya, banyak masyarakat justru memilih berlibur ke luar negeri dibandingkan di dalam negeri.

Dwi Aditya Darmawan misalnya, karena kerap kali menggunakan moda transportasi udara untuk pergi ke beberapa daerah di Indonesia, merasakan jika harga tiket pesawat dalam negeri cukup tinggi. Karena itu, pemuda asal Cakranegara, Kota Mataram ini mengakui berlibur ke luar negeri justru menjadi pilihan yang lebih menggiurkan.

“Saya mulai memesan tiket sendiri sejak tahun 2015 dan mulai mencoba membanding-bandingkan harga tiap maskapai. Harga tiket selalu sepadan dengan fasilitas yang didapat. Namun jika dibandingkan dengan penerbangan internasional, penerbangan dalam negeri Indonesia untuk yang termurah harganya masih mahal, apalagi pasca covid,” terangnya pada Inside Lombok.

Dwi pun membandingkan, jika pada 2015 tiket Denpasar – Lombok untuk pulang dan pergi (PP) dengan jarak tempuh 30 menit lebih harganya Rp500 Ribuan, saat ini sekali jalan mencapai Rp1 jutaan. “Saya juga pernah menggunakan penerbangan murah saat tinggal di Jepang saat covid. Setelah saya cek harganya sekarang pun dan dulu masih sama, mulai dari Rp500 ribuan dengan jarak tempuh 1 jam 50 menit,” ungkapnya.

Dwi pun menggunakan pesawat untuk bepergian di dalam negeri, di antaranya ke Denpasar – Lombok (PP), Lombok – Jakarta (Pergi), Jakarta – Lombok (Pulang), Lombok – Jakarta (PP). Sedangkan penerbangan Internasional, Denpasar – Perth (PP), Denpasar – Singapura (Pergi), Kuala Lumpur – Denpasar (Pulang), Bali – Kuala Lumpur – Tokyo (Pergi), Osaka – Kuala Lumpur – Bali (Pulang), Jakarta – Tokyo (PP), Nagoya – Sapporo (Pergi), Narita – Sapporo (Pergi), Lombok – Singapura (Pergi), dan Kuala Lumpur – Lombok (Pulang).

“Saya memilih ke luar negeri, sesuai dengan budget. Tapi semenjak ada peraturan Imigrasi mengenai pembatasan barang bawaan, saya jadi berpikir ulang untuk wisata ke luar negeri,” terangnya.

Pantauan Inside Lombok di online travel agent (OTA) tiket.com misalnya, untuk ke Singapura bisa diakali dengan membeli tiket ke Surabaya terlebih dahulu. Jika ditotal perjalanan Lombok – Surabaya kemudian Surabaya – Singapura, maka penumpang cukup merogoh kocek sekitar Rp1,576,370. Total biaya tiket itu hampir menyamai biaya rute Jakrata – Lombok.

Berdasarkan pengalaman Dwi bertemu dengan pengguna transportasi udara lainnya, ia mengaku mendenggar banyak keluhan dari masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera, justru memilih transit di bandara domestik lain hingga Kuala Lumpur/Singapura untuk ke Pulau Jawa, karena harganya lebih murah. Terlebih sekarang juga mulai muncul tren sleeper bus, maka orang akan menggunakan bus saja.

Menurutnya, hal tersebut sangat disayangkan. Padahal transportasi udara berfungsi menghubungkan antara provinsi dan yang paling praktis untuk negara kepulauan seperti Indonesia. “Saya membayangkan mereka-mereka yang tinggal di daerah jauh terus mau kota besar, misalnya ada urusan, nonton konser, dan sebagainya. Antara memilih pesawat yang tidak murah atau moda transportasi lain yang memakan waktu sangat lama,” papar Dwi.

Tidak jauh berbeda, Hariatul Aini mengaku punya pengalaman yang sama soal tiket pesawat. Perempuan asal Lombok yang sedang merantau ke Jakarta ini mengaku heran perjalanan keluar negeri menggunakan pesawat lebih murah dibandingkan dalam negeri. Untuk rute Jakarta-Singapura saja berkisaran Rp500-an, bahkan bisa mendapatkan harga Rp300-an jika ada promo. “Boleh di cek langsung di aplikasi manapun. Sejauh ini aku rasa kalau harga pesawat ke lluar negeri jauh lebih murah dibanding perjalanan dalam negeri,” ungkapnya.

Murahnya tiket pesawat ke luar negeri ini berbanding terbalik dengan harga tiket pesawat dalam negeri. Untuk pulang ke Lombok saja dari Jakarta, Aini perlu merogoh kocek Rp1,3-2 juta sekali jalan. Sedangkan rute lainnya, seperti Jakarta-Surabaya berkisaran Rp900 ribu sampai Rp1,5 juta. “Kalau Jakarta-Bali bahkan lebih murah lagi Rp800 ribuan saja ada. Cuma kalau selama ini paling sering dan selalu dari Jakarta ke Lombok dan sebaliknya, terus Jakarta ke Surabaya,” tuturnya.

Menanggapi fenomena tersebut, Ketua Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) NTB sekaligus Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB, Sahlan M Saleh mengakui mahalnya harga tiket pesawat dalam negeri membuat wisatawan domestik lebih memilih ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Bahkan wisatawan yang akan datang ke Lombok maupun Labuan Bajo atau Raja Ampat terkadang lebih memilih ke negara-negara seperti Jepang dan Korea sebagai alternatif pilihan untuk berwisata. “Pertama, harga tiket kita yang menurut mereka jauh lebih mahal daripada ke luar negeri. Katakan saja ke Singapura, Malaysia, Thailand itu mereka bisa mendapatkan tiket return Rp1 juta saja, sudah bisa ke luar negeri. Sementara kita, oneway saja belum tentu dapat Rp1 juta,” terangnya.

Masalah ini pun menjadi tantangan pihaknya meningkatkan kunjungan wisatawan di NTB. “Di Lombok ini kita berjuang promosi sekuat tenaga, tetapi ujungnya untuk aksesibilitasnya butuh biaya yang tinggi. Sehingga itu jadi penghambat,” ucapnya.

Rencana subsidi harga tiket penerbangan dari pemerintah pun menurutnya tidak bisa banyak diharapkan. Mengingat masalah ini perlu solusi jangka panjang. Kondisi ini menurut Sahlan perlu ditanggulangi, karena NTB dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang saat ini menjadi tuan rumah seri MotoGP menjadi salah satu dari lima destinasi pariwisata super prioritas (DPSP) di Indonesia.

“Harusnya ada perintah langsung atau regulasi yang menyarankan maskapai untuk memberikan harga tiket pesawat domestik ini di turunkan atau dari pihak BUMN kita angkasa pura menurunkan komponen-komponen biaya, supaya kunjungan atau penumpang kita lebih banyak,” imbuhnya.

Menjelang MotoGP tahun ini pun, diakui ada angin segar bagi pariwista NTB, seperti dibukanya empat rute baru penerbangan dari dan ke Pulau Lombok. Meski begitu, sahlan mengaku justru khawatir rute itu sepi peminat.

Empat rute penerbangan baru itu seperti ke Balikpapan, Batam, Semarang, dan Jakarta. BPPD NTB pun disebut Sahlan telah mengimbau dan mengirim surat ke semua asosiasi, semua OPD di bawah provinsi maupun kabupaten/kota, agar dapat menggunakan empat rute penerbangan baru itu jika ada perjalanan dinas ataupun paket wisata.

“Kita inginkan adalah sustainable di dalam rute ini, rute ini harus hidup. Rute ini harus kita perjuangkan bagaimana load factornya minimal 80 persen, karena bila kurang dari 80 persen terbebani kita, kita khawatir mereka akan stop,” ujarnya.

Untuk BPPD NTB fokus pada rute penerbangan ini agar tetap hidup dan berkelanjutan. Pasalnya sampai saat ini dari informasi yang didapat, bahwa rute baru ini belum banyak diisi, lantaran penumpangnya sedikit. Maka dari itu pihaknya berjuang bersama-sama bagaimana bisa 100 persen supaya penerbangannya bisa setiap hari.

“Ini kan efeknya kalau berkelanjutan pariwisata kita akan tetap hidup, sekarang beban kita bagaimana kita hidupkan pariwisata Lombok dan Sumbawa, potensi pasar kita di beberapa rute yang baru ini sangat besar sekali,” ungkapnya.

Lebih lanjut, apalagi Jawa Tengah penduduknya cukup banyak. Artinya potensi wisatanya juga sangat banyak, begitu juga dengan Jakarta, Kalimantan atau IKN. Dimana rute baru bisa menari wisatawannya supaya berkunjung ke Lombok dan Sumbawa termasuk wisatawan di Batam. Apalagi Batam bagaimana menjadi jalan wisatawan masuk dari Malaysia maupun Singapore, itulah harapannya.

“Kita ingin perjuangkan semua rute-rute ini hidup. Semua masyarakat ikut bertanggung jawab ikut mengisi pesawat dengan rute-rute yang ada, bila di tutup maka kita rugi, ruginya adalah untuk mendatangkan satu pesawat saja itu susah jangankan kita empat,” imbuhnya.

Saat ini pihaknya juga telah menyampaikan kepada mitra-mitra lain di bidang pariwisata agar membantu mempromosikan rute baru tersebut. Terlebih ini akan mendukung perekonomian NTB semakin positif, kemudian peredaran uang juga tinggi karena dibawa oleh wisatawan. “Kita sangat berkepentingan untuk melanjutkan pariwisata,” tandasnya.

Sebagai catatan, dengan adanya tambahan rute penerbangan Super Air Jet dan Pelita Air, Bandara Lombok akan melayani konektivitas langsung dari Lombok menuju sepuluh destinasi domestik, yaitu Jakarta (CGK), Surabaya (SUB), Yogyakarta (YIA), Bali (DPS), Bima (BMU), Sumbawa Besar (SWQ), Makassar (UPG), Balikpapan (BPN), Semarang (SRG), dan Batam (BTH). Penerbangan-penerbangan tersebut dilayani oleh maskapai Garuda Indonesia (GA), Citilink (QG), Lion Air (JT), Batik Air (ID), Super Air Jet (IU), Wings Air (IW), dan Pelita Air (IP).

Sedangkan untuk penerbangan internasional, saat ini ada dua destinasi yakni tujuan Kuala Lumpur (KUL) yang dilayani oleh maskapai Indonesia AirAsia (QZ), AirAsia Berhad (AK), dan Batik Air Malaysia (OD) serta tujuan Singapura yang dilayani oleh Scoot (TR).

Runway Capacity atau kapasitas landasan pacu untuk mengakomodasi jumlah pendaratan dan lepas landas per satuan waktu di Bandara Lombok sendiri saat ini terbilang masih sangat longgar. Dari kapasitas 16 pergerakan pesawat dalam 1 jam, saat ini rata-rata baru terpakai 8 pergerakan atau sekitar 50 persen dari kemampuan Bandara Lombok.

Kepala Dinas Perhubungan Provinsi NTB, Lalu Mohammad Faozal sendiri mengakui seharusnya ada subsidi untuk harga tiket pesawat ke Pulau Lombok yang memiliki DPSP. “Mestinya ada (subsidi). Hanya saja ini suplai demand kembali ke pasar. Jumlah airline (maskapai) kita yang masuk ke Lombok ini untuk domestik ini ada persoalan. Karena dari jumlah pesawat dengan kebutuhan itu tidak imbang, maka itu terjadi kenaikan tarif,” jelasnya.

Dijelaskan Faozal, jika dilihat dari sisi pasar untuk penerbangan ke Lombok atau keluar Lombok sudah cukup bagus. Karena memang pengguna pesawat bukan hanya pelancong, tapi ada juga untuk bisnis dan lainnya. “Tetapi sekali lagi, airline itu sangat pure bisnis. Ketika bisnis dia menguntungkan pasti dia akan beroperasional. Masalahnya sekarang tidak semua airline itu sehat,” ungkapnya.

MotoGP Mandalika di Tengah Akomodasi Mahal

General Manager The Mandalika, Mamit Hussein mengaku pihaknya banyak menerima keluhan terkait dengan mahalnya harga tiket pesawat ini, sehingga banyak calon penonton seperti dari Jakarta dan wilayah Pulau Jawa lainnya enggan membeli tiket MotoGP. “Penerbangan tinggi (mahal, Red) sehingga penonton yang menggunakan pesawat itu cukup menurun pasti. Jadi itu yang membuat kami kesulitan untuk meyakinkan mereka membeli tiket,” katanya.

Diakui, ada kebiasaan penonton MotoGP di Indonesia membeli tiket di menit-menit terakhir. Karena itu, pihaknya juga telah mencoba menarik penonton membeli tiket lebih cepat dengan memberi banyak paket promosi di awal.

Lebih lanjut, Mamit mengatakan pihaknya telah melakukan segala macam cara untuk mempromosikan dan menjual tiket MotoGP. Mulai dari paket-paket bundling dan lain sebagainya.

Menurutnya, harga tiket MotoGP Mandalika sudah terbilang murah, tapi terbentur dengan harga akomodasi seperti tiket pesawat dan kamar hotel masih melambung tinggi. Untuk itu pihaknya berharap ada kolaborasi antara pengusaha hotel, maskapai dan penyelenggara MotoGP. “Penonton yang hadir tentunya akan menambah okupansi hotel, memperpanjang masa tinggal, UMKM untung, daerah juga semakin maju,” ungkapnya.

Sebagai informasi, per 29 Agustus 2024, panitia mencatat total tiket MotoGP yang sudah dibeli penonton baru mencapai 6.360 tiket. Jumlah ini masih jauh dari target 80 ribu tiket tahun ini.

Terkait harga kamar hotel yang disebut melambung, Ketua Dewan Kehormatan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, I Gusti Lanang Patra pun mengaku pelaku usaha perhotelah telah menjual kamar mereka sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 9 Tahun 2022.

Berdasarkan dari harga publish kamar hotel di Online Travel Agent (OTA) di Traveloka pada 6 September untuk pemesanan kamar pada hari H pelaksanaan MotoGP atau 27 September, harga kamar hotel di Kota Mataram misalnya berkisar antara Rp1-4 juta per-malam. Sedangkan di wilayah yang dekat dengan sirkuit harganya berkisaran Rp3-30 juta untuk hotel berbintang dan villa.

“Mungkin masih ada para broker yang bermain. Kalau harga mereka semua sesuai Pergub, tidak tinggi seperti dulu, lagi pula sekarang tamu untuk MotoGP berkurang,” ujar Lanang kepada Inside Lombok. Menurutnya, jika harga kamar hotel terlalu tinggi maka akan muncul risiko hilangnya pesanan.

Jika harga kamar yang dijual tidak wajar, bisa saja tamu memilih untuk tidak menginap di Pulau Lombok, melainkan di Bali yang harga kamar hotelnya lebih murah. “Kalau terlalu tinggi harga berisiko tinggi, bisa-bisa sampai hari H kosong (pesanan, Red), karena mereka punya alternatif lain, seperti menginap di Bali dengan harga normal, pakai charter flight,” tuturnya.

Saat ini pesanan kamar hotel belum banyak, terutama hotel di Kota Mataram. Lain halnya dengan hotel di wilayah Lombok Tengah, khususnya di Kuta sudah banyak pesanan. “Untuk hotel bintang di Mandalika dan sekitarnya bookingan sdh 95 persen, sedangkan homestay dan hotel melati kisaran 40 persen. Sedangkan di kota untuk hotel bintang bookingan baru 40 persen sampai 50 persen,” terangnya.

Sebagai informasi, Peraturan Gubernur nomor 9 tahun 2022 tersebut berisi tentang memperbolehkan menaikkan harga kamar hotel sampai tiga kali lipat untuk hotel yang berada di zona I (Lombok Tengah), kemudian untuk zona II (Kota Mataram dan Lombok Barat), hotel boleh menaikkan harga kamar hingga dua kali lipat, dan hotel di zona III (Lombok Utara) boleh menaikkan harga kamar satu kali lipat. (dpi/fhr)

- Advertisement -

Berita Populer