27.5 C
Mataram
Selasa, 30 April 2024
BerandaBerita UtamaDijerat UU ITE Setelah Protes Jam Malam Kompleks, IRT di Lobar Divonis...

Dijerat UU ITE Setelah Protes Jam Malam Kompleks, IRT di Lobar Divonis Penjara

Mataram (Inside Lombok) – Pengadilan kelas 1A menjatuhi hukuman penjara 5 bulan dan denda Rp500 juta pada seorang ibu rumah tangga (IRT) inisial H, atas kasus Pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebelumnya, H dilaporkan Ketua RT-nya sendiri melakukan pencemaran nama baik dengan menyebarkan informasi elektronik saat memprotes pemberlakuan jam malam dan penutupan portal perumahan tempatnya tinggal di wilayah Terong Tawah, Labuapi.

Vonis yang dijatuhkan pada H sendiri dinilai tidak adil. Kuasa Hukum terdakwa H, Kumar Gaurfar menyebut penerapan UU ITE pasal 27 ayat 1 seharusnya memperhatikan hal-hal yang berkeadilan dan lebih bermanfaat, bukan hanya melihat kepastian hukum semata. Terlebih di setiap tahapan persidangan tidak ada pembuktian yang spesifik mengenai pencemaran nama baik yang dilaporkan.

“Di fakta persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak pernah menunjukkan video makian tersebut yang dijadikan barang bukti. Kemudian saksi kunci yang ikut menjadi tersangka pada perkara ini juga tidak dihadirkan sebagai saksi. Artinya tersangka lain dibebaskan, tapi klien kami dijadikan tersangka,” jelasnya saat ditemui, Jumat (20/10).

Atas kasus itu, pengadilan memutuskan H bersalah dan harus dipenjara 5 bulan serta membayar denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. “Sehingga kalau kami totalkan masa hukuman yang dijatuhkan majelis hakim menjadi 8 bulan, tentu kami menganggap ini sebuah ketidakadilan yang dijalani oleh klien kami,” ujar Kumar.

- Advertisement -

Melihat putusan yang dinilai kurang objektif itu, pihak terdakwa pun akan melakukan upaya hukum berupa banding. “Kami tidak tahu juga apa yang memberatkan klien kami, karena dalam pemeriksaan di setiap tahap persidangan tidak ada kesaksian membuktikan bahwa terjadi pencemaran nama baik itu. Baik dalam postingan story maupun tulisan di Facebook (tidak) menyebutkan nama seseorang,” terangnya.

Lebih lanjut, hal-hal teknis terkait pencemaran nama baik yang dimaksud menurutnya haruslah dibuktikan dengan bukti ahli, baik ahli bahasa, ahli ITE, maupun ahli pidana. Namun dalam proses persidangan bukti itu tidak dihadirkan, padahal pembuktian kasus ITE idealnya menghadirkan mereka.

Ketidakhadiran saksi itu juga membuat petunjuk kesaksian yang disampaikan JPU disebut Kumar tidak kuat sebagai alat bukti di persidangan. “Sekalipun di persidangan di tuntutan JPU itu ada bukti petunjuk, yaitu bukti petunjuk ahli pidana dan ahli bahasa, tapi kita tidak tahu kompetensi ahli-ahli tersebut. Jadi idealnya harus dihadirkan di persidangan,” bebernya.

Pihaknya pun menyampaikan pembelaan, bahwa penerapan UU ITE harus mengacu pada SKB 3 menteri atau institusi negara yang menyangkut tentang penerapan pasal 27 ayat 3, terkait dengan pencemaran nama baik. Hal ini harus dikembalikan ke hukum pidana yaitu pencemaran nama baik atau penghinaan ringan, sehingga tidak mesti diterapkan UU ITE itu sendiri.

“Harus dikembalikan ke KUHP, yaitu ancaman maksimalnya yaitu 9 bulan. Jadi kita sebetulnya berharap Majelis Hakim melihat pedoman pelaksanaan UU ITE itu kembali ke SKB 3 menteri tersebut. Karena ini kami khawatir mengimbas ke masyarakat lain, salah kata lidah, kemudian bisa dipenjara,” jelasnya. (dpi)

- Advertisement -

Berita Populer