Lombok Tengah (Inside Lombok) – Provinsi NTB hingga kini masih jauh dari harapan terkait literasi dan numerasi. Berdasarkan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) pusat penelitian pendidikan tahun 2019, NTB berada di urutan 33 dari 34 Provinsi di Indonesia untuk kemampuan membaca dan urutan 30 untuk matematika.
“Bahkan hanya 37 persen siswa di kelas awal yang paham apa yang dibaca,” kata Provincial Manager Inovasi untuk Anak Indonesia (INOVASI) Sri Widuri pada kegiatan Webinar dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2021 yang bertema penguatan karakter santri melalui literasi yang digelar akhir pekan ini.
Dikatakan, Webinar tersebut terselenggara atas kerjasama antara INOVASI yang merupakan kerjasama pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia dengan Universitas Qamarul Huda Badaruddin Bagu.
Dengan harapan, para santri bisa menjadi agen perubahan di dalam meningkatkan kemampuan membaca anak-anak khususnya di madrasah yang ada di pelosok-pelosok.
Pasalnya, dari kajian yang dilakukan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram dan Lembaga Perlindungan Anak tahun 2020 lalu, ditemukan mayoritas anak-anak yang sedang berjuang keras meningkatkan kemampuan literasi khususnya di masa pandemi Covid-19 ini adalah anak-anak yang bersekolah di madrasah swasta.
“Semoga ini menjadi awal untuk kita bergerak untuk memperbaiki keadaan ini. Sehingga anak-anak yang mengalami kesulitan saat ini bisa dibantu,” harapnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Qamarul Huda Badaruddin Bagu H. Menap saat membuka kegiatan Webinar tersebut mengatakan, pihaknya akan terus mengawal agar para santri khususnya di Universitas Qamarul Huda Badaruddin Bagu bisa menjadi pelopor literasi. Apalagi, literasi ini merupakan perintah dalam ajaran Islam.
“Wahyu Allah yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW ialah surat al-Alaq ayat 1 sampai 5. Kata pertama pada ayat tersebut ialah iqra’ yang berarti bacalah,” sambung H. Menap.
Dikatakan, santri merupakan komponen bangsa yang akan memberi warna bangsa seperti apa ke depannya. Tapi di satu sisi, disadari saat ini perkembangan sosial, ekonomi dan teknologi sangat dahsyat. Sehingga budaya membaca hampir ditinggalkan atau disalahgunakan.
“Perintah Iqra bacalah itu sudah mulai bergeser dengan perkembangan teknologi,” katanya.
Namun demikian, pihaknya tetap berharap banyak kepada para santri untuk bisa menjadi teladan di tengah masyarakat, khususnya di dalam meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi ini. Ke depan, diharapkan para santri tetap menelurkan karya-karya ilmiah yang dapat dijadikan rujukan hidup bermasyarakat.
“Karena santri selain mengenyam pendidikan juga mendapatkan ilmu masyarakat dan dakwah di pondok pesantren. Jadi perannya di masyarakat akan sangat besar,”imbuhnya.
Perwakilan dari Kementerian Agama (Kemenag) RI Basnang Said dalam kesempatan yang sama menambahkan, dukungan sistem pendidikan nasional terhadap pondok pesantren saat ini sangat luar biasa. Hal itu terbukti dengan ditetapkannya Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober tiap tahun.
Selain itu, disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren menjadi Undang-Undang (UU) melalui Rapat Paripurna DPR yang berlangsung 24 September 2019.
“UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren ini menjadikan pesantren sebagai bagian dari afirmasi dan fasilitasi kepada dunia pondok pesantren,”katanya.
Pesantren juga mengajarkan berbagai sumber ilmu, baik itu pertanian, ekonomi dan pendidikan karakter keagamaan. Adapun literasi dalam dunia pesantren selama ini identik dengan telaah terhadap kitab-kitab. Bahkan, banyak kitab yang ditelurkan dari pesantren.
“Seperti para Walisongo yang mengarang kitab. Ini adalah literasi yang melek di pesantren. Walisongo sudah mengajarkan hal itu,” tandasnya.
Senada dengan itu, Kepala Kanwil Kemenag Provinsi NTB, KH.M. Zaidi Abdad mengatakan, salah satu strategi di dalam meningkatkan minat baca peserta didik, termasuk juga bagi para santri di kelas awal adalah dengan menyesuaikan buku yang mereka baca.
“Untuk santri kelas awal, itu dengan menampilkan gambar-gambar maka akan disenangi anak-anak. Karena bacaan sekian banyak akan sulit dicerna kalau model bukunya sama dengan kelas atas,”cetusnya.
Selain itu, dia memandang perlu juga dilakukan pengemasan kitab-kitab kecil menggunakan bahasa Arab namun disesuaikan dengan kearifan lokal yang ada.
“Dan penting untuk mengajak anak membaca minimal satu jam. Kalau itu bisa dilakukan di semua madrasah akan muncul kualitas membaca di semua pesantren,” tandasnya. (irs)