30.5 C
Mataram
Selasa, 23 April 2024
BerandaSastraCerpenDongeng Rumah Tua dan Si Perantau - Cerpen Muhamad Salman Saizi

Dongeng Rumah Tua dan Si Perantau – Cerpen Muhamad Salman Saizi

Kau meraba dan memegangku, putar dan pelan. Terbukalah apa yang selama ini kau rindukan. Di matamu sebuah nostalgia terhampar. Sebuah aroma lama yang tak pernah kau sadari akan bisa lagi kau hirup dan saksikan. Lama sekali aku tak diinjakmu.

Apa kabar? Sepertinya kini kau sudah menjadi pria dewasa, dan aku tentu saja adalah sebuah rumah yang ikut menua.

Kau masuk setelah membukaku lewat pintu. Pelan dengan matamu meniti seluruh sudut yang tak luput dari kenangan.

Sejak terakhir kau meninggalkanku dua belas tahun lalu, tak ada lagi yang membuatku berantakan. Mungkin ibumu, kadang bapakmu, tetapi tak sekacau ketika kau berlarian sehabis pulang dari ladang.

- Advertisement -

Dulu masa musim hujan adalah masa yang paling menakutkan. Aku harus menahan kesal karena kau yang suka berlarian dengan kaki-kakimu yang diinjakkan penuh kotoran. Tetapi bukan itu bagian terburuknya. Hal lain yang selalu aku takuti dari musim ini adalah ketika kau mulai mengotori dan ibumu datang menghampiri. Seketika aku ingin sekali menutup mata, sayangnya aku tak punya. Dengan penuh kasihan aku rela menyaksikan kemarahan seorang ibu kepada anaknya.

Kau menjerit, pukulan ibumu tampak sakit. Tetapi begitulah yang harus dan selalu terjadi. Kata ibumu ini sebuah hukuman, sebuah bentuk sayang demi moralmu di masa depan.

Kini tak lagi ada jeritan. Kau hanya sendirian di sini bersamaku.

Kesunyian adalah hal yang jarang kau jumpai dariku. Sunyi hanya bertamu malam hari. Ketika siang, harus ada keributan, entah itu antar kedua orangtuamu, atau mereka dengan dirimu.

Kau menatap sudut dekat pintu. Di balik pintu itu, kau seringkali menyembunyikan dirimu, menangis dan selalu berangan-angan untuk pergi dariku.

Kau melangkahkan pelan kakimu ke sana, tapi kau berhenti karena kakimu menabrak meja kecil di dekat sofa. Di atas meja itu ada potret dirimu, ibu dan bapakmu. Kau berusaha mengingat-ingat foto apakah itu. Ternyata dewasa membuat manusia usang dan terkadang lupa. Itu adalah fotomu ketika lulus SMA. Kau dulu juara di sekolahmu.

Itu mengingatkanku waktu dirimu ditawari bantuan dari sekolah untuk melanjutkan kuliah. Waktu itu wali kelasmu bertamu. Kau sesungguhnya sudah tahu apa kehendak dia datang menemuimu. Sayangnya ketika diberitahu niat baik gurumu, kedua orangtuamu menolaknya. Kau dipaksa tegar, tak mau terlihat cengeng. Pikirmu, menangis hanya karena tak diizinkan kuliah bukan hal yang keren. Menyesal biarlah. Bekerja lebih menguntungkan. Kau juga selalu bilang ingin hidup mandiri dan pergi dariku, juga kedua orangtua yang membesarkanmu.

Tepat satu bulan sejak kedatangan gurumu, kau meminta restu kepada orangtuamu untuk merantau ke seberang pulau. Ayahmu bilang, terserah kau yang penting jaga diri. Kalau ibumu beda lagi. Meski dia yang menjadi alasan niat pergimu meninggalkan kami, namun nyatanya dia yang paling tidak setuju. Aku yakin dia dirundung pilu kalau harus membiarkan putra semata wayang merantau nun jauh di seberang.

Kau bersikukuh. Percekcokan tak terhindarkan. Adu mulut, adu kekeraskepalaan.

“Pikirmu, siapa yang membuatmu besar sebesar ini?” Ibumu keras menyeru.

“Aku memang besar karenamu, pun aku ingin jadi lebih besar, dewasa dan berkembang. Bebas dan tak ada kekang.”

“Ada banyak jalan hidup yang lebih pasti di rumah sendiri.”

“Memang betul. Tapi ada yang tak bisa aku dapat dari rumah sendiri. Hari di mana kau tidak melontarkan serapahmu padaku.”

Ibumu melayangkan tangan kanannya pada pipi kirimu. Sakit dan dendam selalu membekas padamu ketika tamparan semacam itu diulang lusa dan lusanya lagi. Hingga matang juga dendammu sebagai pria dewasa.

Kau menggelegarkan kata-kata yang menggetarkan kedua orangtua.

“Tak ada lagi yang aku pedulikan. Aku adalah pria dewasa yang bulat tekadnya. Aku akan pergi.”

Itulah terakhir kali aku menyaksikanmu. Setelah itu tak ada lagi batang hidung bangirmu tampak mengunjungiku.

Meski demikian, kedua orangtuamu tak pernah kau lupakan. Ketika awal bulan, selalu ada sumringah yang kedua orangtuamu pancarkan. Kau selalu menelepon orang rumah, memberi kabar bahwa uang gajimu sudah kau bagikan sebagian.

Sungguh banyak, orang tuamu mendadak jadi perbincangan. Kedua orangtuamu selalu yakin bahwa dirimu sukses menjadi perantau.

Sebenarnya apa yang jadi alasan tak pulangnya kau selama bertahun-tahun?

“Pak, Bu, aku pulang,” katamu menatap foto yang digapit kedua tanganmu. Ada pesan yang tidak tersampaikan di kedua matamu. Kau tak kuasa berdiri, kau duduk. Punggungmu yang lelah kau sandarkan.

“Dua belas tahun lalu tak pernah tampak rasa sepi yang menyusup masuk rumah ini. Dua belas tahun yang kujalani setelahnya hanya mencekikku dan melempar bayanganku ke gubuk kecil ini. Setiap malam tak ada toleransi untuk rasa kangen. Keputusan bodoh macam apa yang aku ambil dua belas tahun lalu?” keluhmu pada diri sendiri.

“Ternyata tamparan yang ibu selalu berikan belum cukup untuk menampar sadar diriku dengan realita hidup di luar sana atau bahkan menumbuhkan moral pada diri yang berdosa. Kalau boleh, mungkin barang dua atau tiga tamparan lagi yang berdarah, dan aku peluk dirimu lalu berdoa juga bermohon maaf pada yang Esa. Rumah ini memang tak pernah sepi dari nyanyian kebencian. Tetapi kalau dibanding keras jalanan yang terhampar di seberang, maka rumah ini lebih dari sebuah nyanyian. Sungguh tidak mudah menjadi seseorang di luar sana. Dan itulah kenapa…”

Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Pintu terbuka sendiri. Dan kau tak peduli.

“Maaf, waktu saudara sudah habis. Mari,” kata orang yang berseragam polisi itu.

“Izinkan saya menjenguk nisan kedua orangtua saya,” katamu.

Tetapi tak ada toleransi. Kata orang-orang itu kau sudah cukup menikmati permintaan terakhirmu. Orang-orang itu membawamu lagi. Kau dikawal masuk mobil.

Masih bisa kulihat dirimu yang melinangkan airmata sambil terus berjalan dengan keputusasaan.

Beberapa warga yang menyaksikan dan berkerumun di sekitar merasa iba. Namun mereka menggunjingmu pula.

“Dia kenapa, ya, Nju?” tanya seorang wanita pada wanita yang lain.

“Katanya dia mau dihukum mati. Dia itu bandar.”

“Memang gila, ya. Hidup merantau selalu keras. Dikira sukses di seberang, ternyata malah jadi bandar dan malah menjemput kematian.”

Rombongan mobil itu melaju pergi. Dan orang-orang kembali pada kesibukan mereka masing-masing.

Dua belas tahun kau pergi dan kembali tak genap sepuluh menit. Lalu pergi lagi dan aku sendirian lagi.

Kini rumah yang nyaman hanya sebuah dongeng tua untuk seorang pria yang akan menutup matanya di ujung hari.

Muhamad Salman Saizi, dipanggil: Saizi. Seorang mahasiswa IAIN PEKALONGAN. Cita-citanya adalah menjadi sastrawan yang kaya-raya. Bertempat tinggal di Batang, Jawa Tengah.

- Advertisement -

Berita Populer