25.5 C
Mataram
Jumat, 26 April 2024
BerandaSastraCerpenMaling - Cerpen Bulan Nurguna

Maling – Cerpen Bulan Nurguna

Mungkin karena dulu di sekolah para guru mengajarkan untuk selalu tenggang rasa, saya jadi sering memposisikan diri sebagai orang lain. “Coba bayangkan jika diri kalian adalah orang itu. Apa yang kalian rasakan? Apa yang kalian pikirkan?” Begitulah para guru sering bertanya, yang tak jarang dilanjutkan dengan ceramah soal falsafah hidup seputar moral dan agama.

Pagi ini, sambil menikmati segelas kopi Ethiopia dan kacang almond, saya membaca berita kriminal: seorang maling motor yang dipukuli habis-habisan. Wajahnya terpampang jelas di koran itu; salah satu koran lokal yang sering menampilkan hal-hal mengerikan, seolah mengerti bahwa masyarakat haus akan penghakiman dan keadilan.

Saya bayangkan motor yang dicurinya; harga barunya sekitar dua puluh juta, tetapi harga bekasnya mungkin tiga perempat sampai setengah dari itu. Bila maling itu menjualnya, paling-paling harganya hanya sekitar seperempat dari harga bekasnya. Nah, harga itulah yang akan ia dapatkan dengan mempertaruhkan keselamatan jiwa dan raganya. Tetapi tentu, dalam perkiraan saya, maling itu tidak beraksi sendirian, melainkan dibantu temannya, sehingga ia harus membagi dua harga jual motor itu. Sekarang ia tertangkap, betapa menyedihkan.

Kalau saya menjadi orang yang beraksi bersama maling yang tertangkap itu, tentu saya akan bimbang. Di satu sisi saya senang karena bisa lolos, di sisi lain saya sedih karena kawan seprofesi dan seperjuangan tertangkap dan diperlakukan begitu rupa.

- Advertisement -

Maling yang tertangkap itu mungkin masih bisa berpikir positif, bahwa warga masih berbaik hati dengan tidak membakarnya hidup-hidup atau memukulinya sampai mati. Mungkin pagi ini, maling itu sudah berada di kantor polisi dan sedang dipukuli kembali oleh polisi. Saya bergidik dan buru-buru menyesap kopi, seolah di dalamnya ada perlindungan untuk batin saya yang tiba-tiba merasa rawan.

Saya jadi ingat pengalaman kemalingan yang terjadi di toko saya beberapa waktu lalu. Uang belasan juta rupiah, dan barang-barang lain yang nilainya tidak kalah besar dari uang itu, raib. Entah kenapa saya tidak bernafsu untuk mencari siapa pencurinya. Kehilangan sesuatu adalah satu hal. Menangkap, memenjarakan, menyiksa, atau bahkan sampai membunuh orang adalah hal lain. Kehilangan membuat saya bersedih, tetapi saya tidak ingin menyiksa diri dengan menyiksa orang lain.

“Kenapa kamu tidak melapor?” tanya seorang kawan.

“Memangnya kalau melapor, uang saya bisa kembali?”

“Setidaknya kamu bisa memutus mata rantai pencurian itu,” katanya.

Seminggu kemudian orang yang punya toko roti di dekat toko saya kemalingan juga, dan tak sampai dua puluh empat jam polisi telah berhasil menangkap pelakunya. Rupanya pemilik toko roti mengenali maling itu ketika melihatnya di cctv. Karyawan saya mengabarkan bahwa maling itu adalah orang yang sama dengan yang terlihat di cctv toko saya.

“Bapak tenang saja. Saya sudah pukul juga orang itu,” kata karyawan saya lewat telepon. Rumah saya dan (salah satu) toko saya itu letaknya agak berjauhan, sehingga hanya sekali sebulan saja saya ke sana.

“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya saya khawatir.

“Baru saja dia dibawa polisi, Pak. Mukanya sudah hancur. Mungkin sudah mampus juga dia, Pak,” katanya penuh kepuasan.

Seketika saya lemas. Kalau orang itu mati, sedikit banyak saya tentu punya andil. Karyawan saya memukul atas nama saya. Seharusnya saya lebih gamblang bersikap bahwa saya tidak suka pada kekerasan, walaupun seseorang telah mengambil hak saya. Meski begitu saya juga harus bertenggang rasa pada korban-korban kemalingan yang hidupnya tidak seberuntung saya.

“Maling zaman sekarang beraksi pada semua orang. Mereka tidak pilih-pilih, Pak,” kata karyawan saya melanjutkan. “Tidak hanya orang kaya, mereka pun mencuri dari orang miskin. Kemarin sepeda tetangga saya ada yang dicuri. Padahal sepeda itu dipakai tetangga saya untuk pergi bekerja sebagai tukang bangunan.”

Bila karyawan saya sudah bicara mengenai orang miskin atau kemiskinan, saya merasa tidak berhak lagi bicara. Memberikan pendapat rasanya sama dengan menyakiti perasaannya. Saya tidak mau seperti orang-orang kaya yang ingin terlihat bijaksana tetapi malah dimusuhi karena menggurui dan tidak berpihak pada para karyawannya.

Saya kembali membalik-balik koran pagi ini. Bukan bermaksud memendingkan suasana, tapi berita tentang pabrik kertas yang kebakaran sungguh membuat hati saya agak bergairah sebab kerugiannya ditaksir hingga seratus juta rupiah. Lebih banyak dari kerugian saya. Tetapi tunggu dulu, apakah persentase kerugian si pemilik pabrik lebih besar pula dari kerugian saya? Jangan-jangan itu hanya sejentik kuku yang tak diperhitungkan olehnya? Ah, kenapa saya jadi bimbang dan turut memikirkan harta orang? Tetapi saya kembali berpikir, bukankah kesedihan dan kegembiran kita salah satunya berdasarkan pembanding yang kita lihat?

Di samping berita kebakaran itu ternyata ada berita tentang korupsi pejabat pemerintah. Koruptor itu tersenyum santun ke arah kamera. Agama, moral, dan sopan santun telah menutupi orang itu dari kejahatannya. Mungkin ini yang disebut anak-anak zaman sekarang sebagai “menang banyak”. Tentu saja aparat akan bertanya dengan santun pula padanya dan menempatkan orang-orang semacam itu di penjara yang manusiawi. Benarkah orang-orang semacam itu sungguh-sungguh berada dalam penjara? Sebab pernah saya lihat dalam berita ada tersangka kasus korupsi yang bisa dengan gampang menonton pertandingan olahraga ketika ia seharusnya tengah berada dalam penjara.

Sebagai orang yang pekerjaannya—tentu— bukan hanya membaca koran, saya hanya membaca beberapa berita, semau saya saja. Kadang saya tertarik pada gambarnya atau pada judul beritanya. Kadang saya juga membaca hal-hal yang tidak menarik bagi saya. Contohnya tentang klub sepak bola daerah yang sangat tidak terkenal. Memangnya kenapa kalau mereka mencetak gol? Apakah saya harus senang karena mereka mendapat bonus dari klub dan banyak yang mensponsori mereka? Apakah saya harus senang karena klub itu berasal dari daerah yang sama dengan saya dan karenanya saya terwakili?

Tetapi biar bagaimanapun, lewat berita yang tidak saya sukai, saya bisa melatih diri mendengar hal-hal baru, meskipun akhirnya saya sadar bahwa berita-berita itu membosankan.

Setelah membaca koran, biasanya saya akan menelepon para kasir di toko-toko saya. Setelah itu, bila sedang ingin, saya melihat-lihat laporan penjualan. Kadang saya melihat juga cctv yang ada di setiap toko saya, yang tersambung lewat handphone. Sesekali saya mencocokkan laporan penjualan dengan tamu-tamu yang berkunjung. Saya mencocokkannya secara manual saja: melihat orang-orang di cctv dan menghitungnya. Itu pekerjaan yang menyenangkan.

Untuk maling itu, saya berdoa, semoga dia bisa berubah dan mencari rezeki yang halal.

“Halo,” saya jawab telepon dari kasir di salah satu toko saya.

“Pak, toko kita kemalingan. Mohon Bapak segera kemari.”

Apa lagi ini? Saya belum sembuh dari perasaan yang kemarin, kenapa toko saya lagi yang kecurian? Apakah tidak ada tempat lain? Untung ada cctv di semua toko saya, dan cctv bekerja lebih efektif daripada tuhan. Kali ini tidak mungkin saya ampuni maling itu.

Saya teringat seorang teman yang menasihati ketika pertama kali terjadi pencurian di toko saya, “Pencurian bisa berubah jadi penjambretan, penjambretan berubah jadi perampokan, dan perampokan disertai pembunuhan akan menjadi hal yang biasa bila pemimpin-pemimpin seperti kita ini terus membiarkannya. Kita harus menangkapnya. Kita harus membunuh kucing untuk menakut-nakuti anjing.”

Mungkin teman saya itu ada benarnya, mungkin saya diperlakukan seperti ini karena tidak melawan ketika dijahati untuk pertama kalinya.

Saya bangkit dari tempat duduk yang menghadap ke taman anggrek di belakang rumah lalu menuju kamar untuk bersiap-siap.

Di atas meja, saya lihat anjing Pomeranian kesayangan saya telah menumpahkan air ke atas laptop saya. Wajahnya yang tanpa dosa seperti minta dikasihani karena mungkin menyadari emosi saya.

Laptop itu berisi banyak file toko-toko saya. Bagaimana bila laptop itu rusak? Saya kejar anjing itu, ia segera berlari di antara bunga-bunga anggrek yang indah.***

Belencong-Gang Metro, 20 November 2020-25 Agustus 2021

Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Kini ia mengelola Kedai Buku Klandestin dan Berlian Library.

- Advertisement -

Berita Populer