25.5 C
Mataram
Jumat, 29 Maret 2024
BerandaEsaiSepuluh Ribu Jam Menuju Profesional

Sepuluh Ribu Jam Menuju Profesional

 

Tidak benar kalau saya katakan bahwa melanjutkan sekolah itu tidak penting. Namun, mengatakan bahwa melanjutkan sekolah adalah satu-satunya solusi bagi masalah kualitas sumber daya manusia (SDM) – yang mengisi posisi-posisi tertentu dalam dunia kerja – tidak bisa dibenarkan juga. Sebab, sepanjang pengamatan saya, ada begitu banyak orang pergi bersekolah tanpa tahu tujuan mereka ke depannya. Di sisi lain, ada begitu banyak orang yang juga tekun menggeluti satu bidang tertentu tanpa repot-repot mencari latar belakang akademis. Ditarik dari sudut pandang itu, maka ‘sekolah’ sama sekali bukan penyumbang solusi tunggal dari segi manapun.

Sekolah belakangan ini acap kali berperan sebagai lembaga yang memberikan paket pendidikan instan, dan kemudian menerbitkan sertifikat pengetahuan. Apakah itu masalah? Tentu bukan. Universitas, sebagai salah satu lembaga paket instan yang diminati dunia kerja, menyumbangkan banyak sekali pencari kerja yang (merasa) siap bekerja. Lantas, apakah jumlah pencari kerja tersebut sebanding dengan jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia? Belum tentu.

Bicara soal lowongan pekerjaan, kemampuan para pekerja menggunakan pengetahuan mereka pastilah menempati posisi prioritas sebuah syarat diterima bekerja. Kemudian, kembali ke para pencari kerja itu; saya pikir, pekerjaan yang ada, secara garis besar, tidak membutuhkan pengetahuan mereka – secara gamblang – melainkan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan tersebut. Semua itu dapat diringkas menjadi satu kata: pengalaman.

- Advertisement -

Pengalaman dapat diartikan proses mengalami suatu tindakan. Dalam proses mengalami, orang bisa belajar banyak hal, dan inilah yang terpenting. Mengikat diri pada lembaga pendidikan tertentu – yang tampak memproduksi pengetahuan dan memaksa pesertanya untuk mahir dalam segala bidang – mungkin berada pada urutan kesekian jika kita ingin mengejar durasi pengalaman. Terlebih untuk mahir atas sesuatu, dalam artian menguasai aspek-aspek teknis dan etik yang ada di bidang tersebut.

Ketika pengalaman telah dihimpun, maka mencari pekerjaan cenderung mudah; sebab pengalaman dapat diibaratkan mahar awal yang membuat perusahaan atau lembaga lainnya yang mencari pekerja, secara praktis, mau menerima lamaran Anda. Fakta bahwa dunia kerja adalah dunia yang praktis tidak dapat dipungkiri. Apapun pekerjaan itu, baik pekerjaan yang murni membutuhkan otot saja, otak saja, atau gabungan keduanya, sangat mementingkan penguasaan terhadap bidang yang dituju.

Sifat praktis tersebut dibentuk dari pengulangan-pengulangan kegiatan di dunia kerja. Walaupun, katakanlah, dewasa ini banyak pekerjaan berproduk konten kreatif, tetap saja jadwal, proses, serta langkah-langkahnya merupakan suatu pengulangan. Oleh karena itu, pengulangan kegiatan menjadi penting sebagai proses menghimpun pengalaman. Dari himpunan pengalaman ini kita dapati seseorang – lambat laun – menjadi pribadi profesional dengan penguasaan yang baik terhadap bidang kerjanya.

Profesionalitas, seperti kata Malcolm Gladwell, sebenarnya dapat diukur, yakni tercapainya sebuah pengulangan sebanyak sepuluh ribu jam. Jika dibagi menjadi delapan jam per hari, maka butuh waktu sekitar lima tahun untuk menjadi profesional di satu bidang tertentu.

Ketika pertama kali mencari kerja, saya merasa gengsi pada gelar akademis yang – saya rasa waktu itu – agak tinggi. Saya mencari posisi-posisi tertentu yang letaknya agak tinggi supaya perasaan gengsi dalam diri terselamatkan. Selang beberapa waktu, saya ditampar kenyataan: meskipun sebagian besar posisi yang saya minati kala itu sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, dan sebagian besar syaratnya dapat terpenuhi dengan mudah, mereka tetap menuntut pengalaman saya di bidang tersebut dalam hitungan tahun – paling sedikitnya satu tahun.

Memang ada juga beberapa posisi yang membuka kesempatan bagi fresh graduate, tapi biasanya tetap terselip informasi bahwa yang berpengalaman lebih diutamakan. Dan, kebanyakan, posisi dengan ketentuan seperti itu ialah kepala cabang suatu perusahaan, manajer, atau supervisor. Lowongan kerja lainnya, dengan posisi lebih rendah, memang tidak terlalu mencari pengalaman. Akan tetapi, posisi-posisi kerja itu terkadang bahkan tidak mementingkan tingkat pendidikan sama sekali – pada tingkat ini semua orang menjadi punya kesempatan yang sama; baik yang bersekolah tinggi maupun tidak bersekolah tinggi. Karena apapun pekerjaannya, semua bertumpu pada pengalaman, bukan latar belakang pendidikan formal.

Kembali ke gagasan Malcolm Gladwell: sepuluh ribu jam professional yang kita butuhkan untuk mencari kerja sebenarnya sudah bisa, boleh, dan/atau harus kita ambil sejak dini, dan itu sama sekali tidak terikat dengan pendidikan formal.

Saya punya seorang teman yang menghabiskan tujuh tahun waktunya untuk menempuh pendidikan formal di jurusan informatika di sebuah institusi pendidikan formal di Malang. Usai menamatkan pendidikan, ia, alih-alih bekerja di bidang informatika, malah memilih berprofesi sebagai wirausahawan yang menjual produk inovasi sambal rumahan. Kemanakah tujuh tahun waktunya yang ia habiskan untuk belajar di bidang informatika itu?

Memang, teman saya itu adalah orang yang aktif juga berorganisasi di luar aktivitasnya di kampus. Ia bahkan membentuk beberapa komunitas lari, stand up comedy dan ketika pulang kampung ke Mataram. Di komunitas itu, rupa-rupanya ia berkenalan juga dengan banyak orang dengan latar belakang berbeda. Barangkali satu-dua kali mengikuti aktivitas profesional teman-teman di komunitasnya. Darinya saya belajar bahwa mengalami menjadi wirausahawan secara profesional tak ada hubungannya dengan pendidikan jurusan informatika yang telah ditempuhnya dulu. Saya yakin ada banyak contoh kasus semacam ini di sekitar kita: dengan latar belakang pendidikan formal tertentu, orang-orang malah menggeluti profesi yang sama sekali berbeda. Dan bisa saja pilihan itu merujuk pada pergaulan kita sehari-hari.

Hal semacam ini, salah satunya, terjadi karena krisis tujuan dari “mengalami” itu sendiri. Kesadaran akan pilihan yang dampaknya langsung merujuk pada diri sendiri terkadang masih kurang, atau malah hampir tidak ada. Tentu saja ada banyak alasan lainnya lagi. Tapi untuk masalah yang berusaha saya bahas kali ini, alasan itu saja sudah cukup. Pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, keahlian, adalah sebuah pilihan yang hasilnya merujuk kepada diri sendiri. Selama hal tersebut merupakan sebuah pilihan yang disadari, maka siapa pun berkesempatan menjadi seorang profesionalis; dan dunia kerja kita berani membayar mahal untuk seorang profesional.

Pada akhirnya, masalah semacam ini dapat dilihat dengan jelas solusinya: jadilah profesional di satu bidang. Menyelaraskan antara pengetahuan dan praktik, serta memperjelas dan menyadari apa yang ingin dituju (sedini mungkin) adalah cara untuk menjadi profesional.

Bayu Pratama mukim di Mataram. Menulis cerita pendek dan puisi. Sehari-hari bekerja sebagai editor di salah satu media lokal di NTB. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram.

- Advertisement -

Berita Populer