28.5 C
Mataram
Sabtu, 20 April 2024
BerandaSastraCerpenTak Ada Kereta di Lombok

Tak Ada Kereta di Lombok

“Kereta api akan ada di Lombok.”

Ia mengatakan itu pada siapa saja yang ia temui. Meski tak pernah ada yang bertanya. Ia akan selalu bilang hal yang sama. Berulang-ulang. Ia kadang dianggap gila. Tapi ia sangat yakin, kereta api akan ada di Lombok, sebab kekasihnya mengirim surat beberapa hari lalu. Begini isi suratnya :

… Di stasiun Rambiga. Aku akan datang dengan kereta api pemberhentian pukul tiga. Kekasihku, sambut aku dengan bunga. Juga dengan cintamu yang masih sama. Kau akan melihat wajahku menengok dari jendela, masih dengan cinta yang sama pula..

Ia senyum-senyum sendiri membaca surat itu. Kemudian melipat dan memasukkannya pada sebuah laci besi. Ia kemudian berbaring dan membayangkan isi surat itu segera menjadi nyata. Ia akan memesan baju yang bagus dan bunga yang tak pernah layu. Ia berjanji akan menunggu kekasihnya. Menunggu tanpa melihat waktu.

- Advertisement -

“Mbak, di Lombok tak ada kereta api. Stasiun kereta aja belum ada.” Seorang pemilik warung menanggapi pembicaraannya. Sebab bosan mendengar apa yang terus ia ucapkan sedari tadi. Ia merenung sejenak mendengar ucapan si pemilik warung.

“Ada, Bu. Stasiun itu namanya Rambiga. Ibu kurang baca kayaknya.” Ia kemudian menerangkan kepada perempuan pemilik warung. Pemilik warung itu geleng-geleng. Tak tahu harus ngomong apa lagi.

***

Ia telah memesan baju yang teramat bagus. Membeli bunga yang katanya tak pernah layu. Tak lupa ia ke salon untuk meluruskan rambut, merawat wajah dan menghilangkan pori-pori. Ia ingin tampil cantik melebihi Ratu Inggris. Ia senyum-senyum sendiri saat melihat dirinya di depan cermin. Kemudian membayangkan sebuah pelukan hangat antara dirinya dan kekasihnya. Ia menatap lagi bunga itu. Bunga yang tak pernah ia lihat sebelumnya di toko bunga manapun. Ia lalu terkenang ucapan si penjual bunga.

“Mbak, bunga ini diturunkan dari langit. Saat langit sore teramat bersih. Hanya ada dua bunga. Satunya dibeli oleh perempuan yang katanya tinggal sendirian di atas bukit. Satunya lagi untuk Mbak. Pasti mbak akan memberikannya pada orang yang sangat berarti bagi Mbak.”

“Kamu tau dari mana? Kalau aku akan memberikannya kepada orang yang sangat berarti?” Ia bertanya sembari matanya memperhatikan bunga itu dengan saksama.

“Saya bisa melihat dari mata Mbak. Mata Mbak memancarkan aura yang baik. Mbak sepertinya sangat tidak sabar memberikannya,” jawab si penjual bunga.

“Saya harus bayar berapa?” Ia bertanya lagi sembari memegang bunga itu. Harum bunga itu mulai menembus penciumannya. Harumnya sangat asing. Tak pernah ia mencium aroma seperti itu. Sebuah aroma yang membuatnya seperti melayang dan seakan bertemu kekasihnya di langit. Ia pun berencana akan membayar tanpa menawar, berapa pun harga yang akan disebut oleh penjual bunga itu.

“Buat Mbak, cukup membayar sepuluh ribu. Hanya untuk keperluan ongkos saya ke Mantang. Saya harus bertemu anak saya. Kami terpisah lima tahun,” jelas si penjual bunga dengan wajah penuh haru dan mata yang tampak sebentar lagi akan basah.
Ia pun terharu mendengar ucapan si penjual bunga. Ia keluarkan uang lembaran seratus ribu dari dompetnya. Kemudian ia berkata, “Ini buatmu semuanya. Sampaikan salamku pada anakmu. Menunggu lima tahun adalah hal yang menyedihkan. Sangat menyedihkan.”

Si penjual bunga berterima kasih dan pergi. Ia memang memiliki nasib yang sama dengan si penjual bunga. Lima tahun sudah ia tak bertemu kekasihnya. Kekasihnya pergi ke luar daerah entah tujuan apa. “Banyak yang harus kucari.” Begitu ucapan kekasihnya saat memutuskan pergi lima tahun silam.

Lima tahun sudah ia menahan rindu. Rindu yang kadang membuatnya menangis, kadang membuatnya senyum-senyum sendiri, kadang juga membuatnya ingin mengakhiri hidupnya. Tetapi surat yang datang tiga hari lalu itu, membuat ia seakan dilahirkan kembali. Hidupnya kini penuh dengan sejuta harapan dan keyakinan.

***

Lelaki itu bernama Randuse. Ia hanya lulusan SMA. Cita-citanya hanya satu, ia ingin menjadi seorang masinis kereta. Tapi stasiun kereta tak pernah ada di Lombok. Meski ia sering bermimpi menjadi masinis dan di setiap stasiun pemberhentian ia sering mengkhayalkan seorang perempuan. Seorang perempuan menunggunya dengan membawa rantang makanan. Kemudian mereka duduk menunggu pemberangkatan selanjutnya. Ia ingin sekolah di Jawa, tapi biaya tak ada dan orangtua tak bisa diandalkan.

Pada sebuah pasar malam di Ampenan. Ia kemudian mengenal seorang gadis cantik. Gadis yang memiliki badan semampai dan rambut hitam lurus. Nama gadis itu Eliana. Mereka bertukar kontak dan berkenalan lebih dalam. Sering mereka kencan menonton film di bioskop, sering juga sekadar duduk di Taman Sangkreang. Mereka bisa tahan berlama-lama, kadang menghitung bintang di langit, kadang menghitung kendaraan yang lalu-lalang. Setiap hari mereka akan bersama. Eliana tak bisa membayangkan hidupnya tanpa Randuse. Satu jam tak saling SMS saja, Eliana merasa seperti ada yang hilang dari dirinya. Pernah Randuse tak menghubunginya selama lima jam. Batin Eliana terasa remuk. Kemudian Eliana mengirim beberapa pesan. Di antaranya berbunyi;

“Randuse, setiap hari jantungku berdegup sebanyak 144 ribu kali. Tapi hari ini jantungku hanya berdegup 90 ribu kali sejak kabarmu tak ada. Degupannya pun sangat lambat. Lambat sekali Randuse.”
“Randuse, aku hari ini tak melihat pelangi. Biasanya pelangi dengan ribuan warna muncul dari balik pohon mangga di halaman rumah. Tapi hari ini langit begitu mendung. Aku takut Randuse.”
Randuse hanya tersenyum membaca pesan itu. Ia sengaja mematikan hape sejak lima jam lalu. Ada yang musti ia kerjakan. Kemudian jemarinya mengetik sebuah balasan dan dikirim ke Eliana.
“Kamu harus terbiasa Eliana. Besok aku akan pergi. Ke sebuah tempat yang jauh. Tapi pasti akan kembali. Terlalu banyak yang harus kucari.”

Sejak itu pula Randuse menghilang. Sementara cinta di dada Eliana semakin tumbuh tak bisa dibendungnya lagi. Ia banyak menangis sampai pada surat itu datang padanya.

***

Ia sudah duduk di stasiun menunggu kereta yang berhenti tepat pukul tiga. Tangannya menggenggam bunga. Ia melihat jam di tangannya. “Satu menit lagi,” batinnya berucap. Suara kereta kemudian terdengar, dadanya berdegup hebat. Kepalanya celengar-celengir, menengok ke arah kereta yang berjalan semakin lambat dan berhenti tepat di depannya. Ia beranjak dari duduknya. Ia perhatikan masinis kereta tadi. Wajah masinis itu dipenuhi keringat dan tampak sangat lelah. Kemudian Ia perhatikan wajah ratusan penumpang yang turun satu persatu. Satu pun tak ada yang luput dari penglihatannya. Namun tak pernah ada wajah Randuse. Sampai pada penumpang terakhir turun. Ia menghela napas panjang. Sebenarnya ia sangat ingin menangis. Ia duduk kembali. Hujan tiba-tiba turun. Kemudian ia pulang dan memilih menangis dibawah guyuran hujan. Ia sengaja menangis saat hujan, agar tak ada yang tahu kalau ia sesungguhnya sedang menangis.

Keesokan hari, ia datang lagi di jam yang sama. Ia mengenakan baju baru yang sangat bagus, dan masih membawa bunga yang sama. Bunga yang tak pernah layu. Hari ini ia yakin, Randuse akan pulang. Sebab satu jam lalu, di balik pohon mangga di halaman rumahnya, muncul pelangi dengan ribuan warna. Ia berdiri dari duduknya saat sebuah kereta berhenti tepat pukul tiga. Ia mulai memperhatikan lagi semua wajah yang keluar dari pintu kereta. Namun sampai pada penumpang terakhir turun, tak pernah ada Randuse. Ia sungguh kecewa. Hujan turun lagi dan ia menangis kembali.

Ia tak mau menyerah, setiap hari ia terus datang pada jam yang sama. Meski tak pernah ada Randuse di antara ratusan penumpang yang turun. Sampai pada hari ke-1453, ia setia datang dan menunggu. Ia duduk tenang di bangku yang sama. Dan sebuah tangan memegang pundaknya. Ia tersentak dan menoleh.

“Ibu nunggu siapa? Saya perhatikan, sudah sekian hari Ibu duduk disini dengan wajah yang begitu sedih.”

“Saya menunggu kereta yang datang tepat pukul tiga.”

“Kereta apa Bu?”

“Kereta api….”

“Kereta api? Ini Lombok Bu, tak ada kereta api di pulau ini.”

“Ini kan stasiun. Kereta api pasti ada.”

“Ini halte Bu. Halte bis. Coba Ibu perhatikan..!!”

Ia melihat kiri dan kanan. Ia kaget dan menangis sejadi-jadinya. Hatinya benar-benar sudah remuk berkeping-keping.

***

Dua tahun sejak itu, pemerintah merencanakan akan membangun rel kereta api pertama di Lombok. Jalur yang akan dibuat adalah jalur Ampenan – Kopang. Di TV, perencanaan ini jadi berita sepanjang hari. Orang-orang menyambut rencana pemerintah ini dengan senang hati. Sebab sudah lama orang-orang Lombok ingin merasakan bagaimana sensasi naik kereta api.

Hanya ada seorang perempuan yang menentang rencana pemerintah itu. Setiap hari ia datang ke depan kantor Gubernur untuk berdemo. Hanya ia sendiri. Ia membawa sebuah karton bertuliskan “Jangan Bangun Rel Kereta di Lombok.” Semula ia menjadi perhatian, bahkan masuk TV dan koran. Semua media meliputnya. Hari demi hari, bahkan sampai ratusan hari, ia terus datang dan membawa karton dengan tulisan yang sama. Tetapi, orang-orang tak lagi peduli. Semua acuh dan menganggapnya hanya seorang perempuan gila.
(*)
Majidi, 2018-2020

 

BIODATA PENULIS

Rifat Khan, lahir pada tanggal 24 April. Beberapa karyanya dimuat Metro Riau, Majalah Cempaka, Suara NTB, Lombok Post, Radar Surabaya, Radar Banyuwangi, Radar Bromo, Radar Sulbar, Banjarmasin Post, Satelit Post, Basabasi, Tabloid Nova, Detikcom, Cendana News, Majalah Simalaba, Tribun Jabar, Bali Pos, Padang Ekspres, Sinar Harapan, Media Indonesia, Jurnal Nasional, Riau Pos dan Republika. Kini mukim di NTB dan bergiat di Komunitas Rabu Langit Lombok Timur. Berniat berhenti nulis di bulan Januari 2022.

- Advertisement -

Berita Populer