Mataram (Inside Lombok) – Gempa dahsyat yang meluluhlantakkan sebagian wilayah NTB pada 2018 silam seperti tidak cukup membuat pemerintah melakukan percepatan pembangunan sistem mitigasi bencana. Kondisi yang cukup ironis, mengingat di beberapa wilayah proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) justru berjalan cepat, salah satunya di Kota Mataram.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Mataram, total 15.479 Kepala Keluarga (KK) mendapati rumahnya rusak akibat gempa 2018. Rinciannya, 1.350 KK mengalami rusak berat, 4.000 KK rusak sedang, dan 10.129 KK rusak ringan. Meski seluruhnya telah selesai ditangani pada akhir 2021 lalu, angka ini seolah berakhir menjadi statistik semata. Di lapangan, masyarakat masih tetap dihantui ketakutan tiap kali gempa datang, sebab tidak adanya pengetahuan mitigasi yang memadai, baik dari masyarakat sendiri maupun secara kelembagaan di masing-masing lingkungan.
Kondisi ini masih terlihat, salah satunya saat gempa bumi tektonik magnitudo 4,6 yang mengguncang Lombok sekitar pukul 05.14 Wita pada 25 Januari 2022 yang tak ayal membangkitkan trauma atas gempa yang terjadi 2018 silam. Episentrum gempa yang terbilang dangkal saat itu membuat getaran jelas terasa, hingga rumah-rumah warga bergemuruh.
Trauma itu membekas pada para penyintas gempa 2018. Seperti dialami warga Lingkungan Tegal, Kelurahan Selagalas, Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram. Walaupun sebagian besar warga di lingkungan itu telah membangun rumah tahan gempa (RTG) setelah rumah-rumah mereka rata oleh tanah akibat gempa empat tahun lalu, kepanikan tetap ada saat gempa terjadi lagi.
“Tentu kita masih takut, berhamburan juga kita (lari) ke luar rumah subuh tadi. Semuanya panik. Biar namanya RTG (rumah yang ditinggali), tetap saja ada ketakutan,” ujar salah satu warga Lingkungan Tegal, Ogi Fatoni kepada Inside Lombok.
Ogi adalah salah satu penyintas gempa 2018 yang mendapati rumahnya roboh saat bencana terjadi. “Waktu gempa itu saya sedang di masjid. Setelah gempa selesai, saya pulang dan rumah sudah miring hampir jatuh,” ujarnya. Tatapannya terlihat mengawang, berusaha mengingat kejadian itu. Pemandangan mendapati rumahnya hampir roboh saat gempa terjadi diakuinya menjadi salah satu yang paling membekas di ingatan.
Diceritakan Ogi, rumahnya dan rumah-rumah tetangga yang lain memang tidak memiliki konstruksi yang kuat sebelum gempa 2018 terjadi. Rumah-rumah tersebut sebagian besar dibuat dengan batako, tanpa spesifikasi khusus untuk mitigasi bencana.
Beruntung, warga telah mengungsi sejak Minggu (5/8/2018) saat terjadi gempa magnitudo 7.0 yang mengguncang Lombok dan sekitarnya pada pukul 19.46 Wita. Warga membangun tenda di areal persawahan dan pekuburan setempat, sehingga tidak ada korban jiwa ketika gempa yang meruntuhkan rumah-rumah mereka terjadi.
Karena itu, Ogi juga bersyukur mendapat bantuan perbaikan rumah terdampak gempa dari pemerintah. Terlebih proses pembangunan terbilang cepat, sehingga ia telah memiliki rumah baru tidak sampai delapan bulan setelah gempa terjadi.
“Saya dapat waktu itu bantuan huntara, kemudian ada RTG ini, dan terakhir RTLH. Memang bantuannya tidak cukup untuk buat rumah sampai jadi, masih kita tambah (biaya) kurang lebih untuk finishing saja,” ujarnya haru.
Saat ini Ogi menempati RTG miliknya bersama istri dan anak. Keluarga kecil mereka diakuinya masih sering mengenang kejadian gempa 2018 lalu sebagai momen yang mengubah hidup mereka. “Karena saat-saat itu kita benar-benar kumpul, yang sebelumnya tidak pernah tidur di tanah (saat mengungsi) jadi merasakan. Walaupun tidak ada dampak (khusus secara ekonomi), tapi itu memang membekas sekali (kejadian) waktu itu,” ungkapnya.
Penanganan Cepat, Minim Sosialisasi Mitigasi
Kepala Lingkungan Tegal, Samsul Hadi menyebut penanganan fisik untuk rumah-rumah warga yang roboh akibat gempa di Kota Mataram memang terbilang cepat. Setelah gempa pada Agustus 2018, rumah-rumah warga sudah kembali terbangun pada pertengahan 2019.
Diceritakan Samsul, gempa paling parah yang meluluhlantakkan hampir 90 persen pemukiman warga di Lingkungan Tegal adalah yang terjadi pada 9 Agustus 2018. Gempa dengan magnitudo 6,2 yang terjadi sekitar pukul 13.25 Wita tersebut membuat rumah-rumah di 11 RT yang ada di Lingkungan Tegal rusak.
Dari sekitar 600 KK yang ada di lingkungan tersebut, sekitar 270 KK mendapati rumah mereka rusak berat. Sedangkan sisanya secara umum mengalami rusak sedang dan rusak ringan. Mengikuti arahan masa transisi darurat dari pemerintah saat itu, pihaknya telah membentuk kelompok masyarakat untuk mengakomodir masyarakat terdampak pada akhir 2018. Sehingga perbaikan rumah warga bisa diproses pada Februari 2019.
“Waktu itu dua alat berat yang kita turunkan untuk meratakan rumah-rumah yang roboh. Jadi Senin semua warga sudah di pengungsian. Ada di kuburan setempat dan area persawahan. Kepanikan-kepanikan dari suasana itu yang masih ada sampai sekarang,” jelasnya.
Kendati demikian, diakui beberapa kendala ditemukan saat penanganan dampak gempa tahap pertama. Di mana dari 16 pokmas yang terbentuk, sekitar 4 pokmas tidak melaporkan progres penanganan dengan baik. Padahal masing-masing pokmas setidaknya mengakomodir 20 KK.
Dengan begitu, sekitar 80 KK sempat terkendala penanganannya. Sehingga pihaknya terpaksa memberi penekanan agar masing-masing ketua pokmas benar-benar memperhatikan proses yang berjalan. Termasuk penggunaan dana bantuan yang telah ditransfer pemerintah dan penyalurannya ke masing-masing warga terdampak.
“Karena itu, waktu itu kita baru sadar pentingnya seleksi untuk ketua pokmas. Karena di awal memang tidak ada seleksi. Ini semua yang kemudian kita kumpulkan (ketua pokmas dan fasilitator) kemudian kita beri penekanan. Akhirnya semua bisa diselesaikan tepat waktu, dan di (pengajuan) tahap dua masalah ini yang kita coba hindari,” jelas Samsul.
Meskipun seluruh penanganan berjalan lancar, ia mengakui warganya masih tetap dihantui trauma atas gempa 2018 lalu. Bahkan saat mengenang peristiwa gempa empat tahun lalu, Samsul menyebut kepanikan warga adalah salah satu yang paling membekas bagi dirinya selaku kepala lingkungan.
“Sampai sekarang bahkan ada warga kami di sini yang dijuluki Haji Tsunami, karena waktu gempa (2018) itu dia inisiatif membuat pengumuman di masjid menginformasikan ada tsunami yang sudah sampai Cakranegara. Warga jadi panik semua karena pengumuman itu, termasuk saya,” kenangnya.
Menghadapi kepanikan tersebut, pihaknya merefleksi kembali rencana mitigasi bencana yang pernah diagendakan pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kota (Pemkot) Mataram. Salah satunya untuk pembuatan titik kumpul yang mengakomodir warga di Tegal dan lingkungan sekitarnya jika terjadi bencana.
“Dengan bangunan RTG ini ada gempa sedikit saja atapnya sudah ribut. Warga otomatis panik. Kita sampai sekarang belum ada program mitigasi, sosialisasi juga belum ada. Kita terkendala lahan, sekarang masih selamatkan diri sendiri saja warga,” ungkapnya.
Rencana program mitigasi memang pernah didengar pihaknya dari Dinas Perumahan dan Permukiman (PUPR) Kota Mataram. Antara lain untuk program perbaikan jalan yang rusak karena gempa, perbaikan saluran irigasi, hingga pembuatan titik kumpul. Sayangnya, lahan yang terbatas di Lingkungan Tegal menjadi kendala untuk realisasi program tersebut sampai saat ini.
“Karena memang pemukiman di sini sudah padat sekali,” ungkap Samsul. Dalam rencana awal penataan daerah terdampak gempa di Kota Mataram, dicanangkan pembuatan titik kumpul dengan luas 18 are. Namun rencana tersebut tidak kunjung ada kejelasan akibat terbatasnya lahan yang bisa dibebaskan dan realokasi anggaran pemerintahan akibat pandemi Covid-19.
“Jadi sampai sekarang kalau ada bencana seperti gempa warga masih menyelamatkan diri sendiri saja. Ada yang lari ke lapangan, sawah dan lain-lain,” jelas Samsul. Untuk itu, pihaknya berharap program mitigasi bencana bisa segera direalisasikan pemerintah, terutama untuk membantu warga lebih memahami cara mengatasi dan mencegah kerugian yang lebih besar jika terjadi bencana.
Lingkungan dan Rumah Warga Dibangun Lebih Sehat
Selain pembangunan RTG, pada prosesnya perbaikan rumah warga di Lingkungan Tegal disebut memperhatikan aspek kesehatan. Diceritakan Samsul, sebelumnya model rumah warga di lingkungan tersebut tidak memperhatikan sirkulasi udara dan intensitas cahaya matahari. Sehingga rumah-rumah yang berdesakan di kiri-kanan gang selebar 1,3 meter di sana memunculkan suasana lembab dan gelap.
“Setelah gempa, waktu pembangunan RTG kita arahkan supaya hadap rumahnya disesuaikan biar sinar matahari bisa masuk. Ini kita lakukan supaya lingkungan warga bisa lebih sehat sedikit, walaupun masih padat berdesakan di gang yang sempit,” ungkapnya.
Khusus di Lingkungan Tegal, 270 KK yang rumahnya mengalami rusak berat dapat ditangani dengan cepat setelah warga mengumpulkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan seperti KTP dan KK. “Bantuan gempa ini kan istilahnya tanpa diundi, jadi kita ajukan semua masyarakat kita yang terdampak. Yang penting mereka punya dokumen yang dibutuhkan. Setelah itu warga kebanyakan memilih RISHA dan RIKO,” ungkapnya.
Di sisi lain, warga juga mendapat bantuan dari lembaga non pemerintahan seperti LAZIS NU yang menyumbangkan Rp1 miliar lebih dalam bentuk huntara siap pakai. Saat terjadi gempa, lembaga tersebut membangun sekitar 50 unit huntara standar dengan anggaran Rp15 juta per unit.
Bantuan huntara tersebut yang kemudian masih dimanfaatkan masyarakat hingga sekarang, bersamaan dengan RTG yang dibangun dari bantuan pemerintah. “Jadi dengan banyaknya bantuan itu, aktivitas ekonomi masyarakat bisa tetap normal walaupun rumah mereka roboh,” jelas Samsul.
Percepatan pembangunan juga didukung dengan respon cepat Pemkot Mataram yang menerjunkan langsung pihak BPBD, PUPR, dan tim verifikasi lainnya untuk memastikan data dan kondisi yang dialami masyarakat.
Dicontohkan Samsul, saat pihak kelurahan melalui masing-masing lingkungan mengumpulkan data warga, Pemkot Mataram juga dengan cepat mengatur regulasi dan mengeluarkan SK Walikota. Selain itu RTG yang dipilih warga juga dapat cepat terbangun karena jenisnya yang mendukung.
“Semisal RISHA itu sekitar sebulan sudah bisa jadi, dan RIKO sekitar 2 bulan. Begitu juga yang tahap dua, kita hanya ajukan 60 KK dan realisasi 30 persen karena sebagian besar sudah bisa selesai di tahap 1,” bebernya.
Beberapa rumah warga yang sebelumnya rusak bahkan sampai saat ini masih dimasukkan dalam program lainnya seperti pembenahan RTLH (Rumah Tidak Layak Huni). Dengan begitu, pihaknya berharap warga yang masih membutuhkan bantuan akhirnya bisa mendapatkan rumah yang lebih representatif, baik dari segi keamanan maupun kesehatan.
Destana dan Resolusi Jangka Panjangnya
Untuk memperkuat desa/kelurahan di NTB secara umum dalam mengantisipasi dan mengatasi dampak bencana, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB telah mencanangkan program Desa Tangguh Bencana (Destana) sebagai resolusi jangka panjang. Targetnya, seluruh desa/kelurahan di NTB dapat memahami aspek-aspek yang mencakup mitigasi bencana secara menyeluruh.
Wakil Gubernur (Wagub) NTB, Sitti Rohmi Djalilah menyebut program Destana telah menjadi perhatian pemerintah daerah. Antara lain dengan memasukkannya dalam program prioritas NTB Gemilang.
“Maksud dari Destana, yaitu menyadari potensi bencana yang ada di sekitarnya. Sehingga siap-siap tahu apa yang harus dilakukan. Harus skala desa, dan ini yang sedang kita perjuangkan sekarang,’’ ujar Rohmi.
Menurutnya, Destana adalah desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana. Termasuk dengan memperhatikan kondisi dan potensi bencana di lingkungan tempat tinggal.
“Contoh misalnya kita punya rumah di sekitar hutan, karakteristik bencana berpeluang terjadi seperti banjir, longsor dan sebagainya. Sehingga kita harus memastikan kondisi hutannya tidak boleh gundul, posisi rumah juga harus diperhatikan,” ujar Rohmi.
BPBD Provinsi NTB sendiri mencatat sejak mulai dijalankan pada 2015, hingga 2021 baru 43 desa/kelurahan yang mendapat predikat Destana. Khusus untuk Kota Mataram, Kelurahan Ampenan Selatan menjadi satu-satunya wilayah Destana yang telah dibentuk sejak 2015.
“Ini akan terus kita tuntaskan yang (target) 434 desa/kelurahan sampai 2023,” ujar Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTB, H. Syahdan saat memberi keterangan. Untuk ditetapkan sebagai Destana, masing-masing desa/kelurahan harus memenuhi beberapa indikator sesuai Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Perka BNPB No. 1/2012).
Indikator yang dimaksud antara lain kebijakan/peraturan di desa/kelurahan tentang PB/PR; rencana penanggulangan bencana, rencana aksi komunitas, dan/atau rencana kontingensi; forum PRB; relawan penanggulangan bencana; kerjasama antar pelaku dan wilayah; dana tanggap darurat; dana untuk PRB; pelatihan untuk pemerintah desa; pelatihan untuk tim relawan; pelatihan untuk warga desa; pelibatan/partisipasi warga desa; pelibatan perempuan dalam tim relawan; peta dan kajian risiko; peta dan jalur evakuasi serta tempat pengungsian; sistem peringatan dini; pelaksanaan mitigasi struktural (fisik); pola ketahanan ekonomi untuk mengurangi kerentanan masyarakat; perlindungan kesehatan kepada kelompok rentan; pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk PRB; dan perlindungan aset produktif utama masyarakat.
Jika masing-masing indikator dapat dipenuhi, masing-masing kelurahan/desa akan diklasifikasi dalam tiga kategori. Antara lain Destana Utama dengan syarat memiliki kebijakan PRB yang telah dilegalkan dalam bentuk Perdes atau perangkat hukum setingkat di kelurahan; adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke dalam RPJMDes dan dirinci ke dalam RKPDes; adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, dan wakil pemerintah desa/kelurahan, yang berfungsi dengan aktif; adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang secara rutin terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan, dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya; adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko, dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan; dan adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana.
Kemudian Destana Madya dengan syarat adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa atau kelurahan; adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi belum terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa; adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, tetapi belum berfungsi penuh dan aktif; adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan, dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya, tetapi belum rutin dan tidak terlalu aktif; adanya upaya-upaya untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan,tetapi belum terlalu teruji; dan adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis.
Kemudian Destana Pratama dengan syarat adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di tingkat desa atau kelurahan; adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan PB; adanya upaya-upaya awal untuk membentuk forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat; adanya upaya-upaya awal untuk membentuk tim relawan PB Desa/Kelurahan; adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan; adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana.
“Setelah kita fasilitasi terbentuknya relawan dan segala macam (di Destana), kita harapkan dari dana desa bisa dipakai untuk mendukung program itu,” ujar Syahdan. Diterangkan, dari beberapa desa/kelurahan yang telah menerapkan destana, sekitar Rp30 juta anggaran desa/kelurahan per tahun dapat digunakan untuk mendukung program tersebut.
“Memang begini regulasinya. Kami hanya memfasilitasi supaya Destana ini terbentuk. Supaya ada Perdes yang harus dibuat Desa, dan bisa digunakan sehingga dana desa bisa lebih fleksibel (untuk mendukung upaya mitigasi bencana),” jelasnya.
Kendati, pelaksanaan program ini di lapangan menjadi tantangan lainnya. Di Kelurahan Ampenan Selatan yang menjadi satu-satunya wilayah Destana di Kota Mataram, misalnya, beberapa indikator telah melemah atau bahkan tidak dijalankan sama sekali.
Lurah Ampenan Selatan, Erma Suryani menerangkan sejak dirinya dilantik mengisi jabatan lurah di Ampenan Selatan pada 10 Maret 2022, penyediaan anggaran khusus untuk Destana sudah tidak ada lagi.
“Kalau untuk prioritas (program), kita pakai skala. Tahun ini memang tidak ada diploting (disusun) untuk itu (Destana, Red) karena anggaran terbatas,” ujarnya saat dikonfirmasi. Di sisi lain, tim relawan yang pernah terbentuk juga diakuinya sudah tidak aktif lagi dan membutuhkan penguatan.
“Kelembagaan apapun yang dibentuk sebenarnya butuh penguatan. Ini kita akui jadi kelemahan kita, dan butuh penguatan internal,” jelasnya. Saat ini, pihaknya disebut tengah berupaya melakukan pembenahan, antara lain dengan membentuk ulang karang taruna dan tim relawan bencana.
Di sisi lain, minimnya anggaran untuk edukasi dan mitigasi bencana di pihak kelurahan disebutnya tertolong dengan program-program pemerintah, dalam hal ini yang diakomodir BPBD. Khususnya dengan pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada masyarakat dan respon cepat dari tim siaga jika terjadi bencana.
“Seperti kita di Ampenan Selatan ini ada potensi bencana banjir rob setiap tahunnya. Soal (mitigasi) kebencanaan ini, walaupun tidak terakomodasi secara khusus kita tetap koordinasikan. Misalnya di Penghulu Agung yang sering terkena banjir rob, kita sediakan tumpukan pasir dan agendakan gotong royong,” ujar Erma.
Rumpangnya penerapan indikator Destana seperti yang terjadi di Kelurahan Ampenan Selatan berpotensi melemahkan program itu sendiri. Padahal dalam resolusi jangka panjangnya desa/kelurahan yang telah menerapkan program Destana tidak hanya dituntut memiliki kemampuan mengenali ancaman di wilayah tersebut, melainkan juga mampu mengorganisir SDM untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini melibatkan upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pasca bencana.
Hal ini yang kemudian disebut Syahdan menjadi mimpi besar Destana. Di mana masyarakat diharapkan terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka. Terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberlanjutan.
Dengan pola penanganan tersebut, tegangan antara kesiapan desa/kelurahan mengatur dan menyiapkan regulasi dengan potensi bencana yang mengancam setiap saat menjadi pekerjaan rumah bagi penyiapan mitigasi bencana di NTB, termasuk di Kota Mataram. (bay)