25.5 C
Mataram
Rabu, 24 April 2024
BerandaBerita UtamaMarak Kasus TPPO, Pekerja Migran Perlu Berangkat Sesuai Prosedur

Marak Kasus TPPO, Pekerja Migran Perlu Berangkat Sesuai Prosedur

Mataram (Inside Lombok) – Awal 2023 ini sudah ada delapan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di NTB. Tingginya jumlah kasus itu disinyalir karena masih minimnya pengetahuan masyarakat akan pemberangkatan ke luar negeri untuk bekerja secara legal atau melewati jalur resmi. Untuk itu masyarakat yang ingin bekerja ke luar negeri diminta harus sesuai dengan prosedur, agar terlindungi dengan baik.

Director for The Protection of Indonesian Citizens Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Judha Nugraha menyebut menghadapi kasus TPPO maka kesadaran masyarakatlah yang perlu ditingkatkan. Terutama mereka yang ingin bekerja di luar negeri. Terlebih masih banyak masyarakat ingin menjadi pekerja migran ke luar negeri, tapi pemberangkatannya tidak sesuai prosedur.

“Silahkan, kalau mau meningkatkan kesejahteraan ikutlah dengan jalur yang benar, karena itu jalur paling aman. Kalau sudah tahu ada modus TPPO masih nekat berangkat, bukannya untung didapat, buntung yang kena, dan itu banyak terjadi. Cerita sedih ini berulang terus,” jelas Judha, Jumat (31/3).

Minat masyarakat bekerja ke luar negeri cukup tinggi, terutama di wilayah NTB. Sayangnya masih banyak masyarakat yang terjebak calo-calo atau sponsor sehingga berangkat secara ilegal. Padahal jika berangkat secara ilegal ada beberapa konsekuensi yang diterima oleh calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) tersebut.

- Advertisement -

“Ketika tidak berangkat sesuai prosedur, maka tidak terlindungi. Pertama data tidak ada di KBRI. Karena mereka jalur belakang. Kedua, dari sisi perlindungan tenaga kerja itu sangat-sangat rendah. Karena mereka tidak paham kontrak kerja yang mereka tanda tangani,” tuturnya.

Kemudian ketika terjadi sesuatu, otoritas setempat juga akan kesulitan untuk melakukan penegakan hukum. Seperti yang baru-baru ini terjadi kasus TPPO dengan modus menawarkan pekerjaan di luar negeri. Namun berangkat tidak sesuai prosedur, tetapi mereka sudah menerima uang Rp5-10 juta atau uang fee di awal. Uang tersebut untuk meyakinkan kredibilitas tempat kerja pada pihak keluarga korban.

“Nyatanya ketika sampai di luar negeri, contoh ditempatkan di negara konflik, ketika mereka komplain tidak bisa. Karena dia sudah terima uang. Itulah bentuk penjeratannya. Kalau ada komplain, kembalikan dulu uangnya,” katanya.

Untuk itu, masyarakat diharapkan tidak mudah percaya pada janji-janji sponsor atau calo. Terutama yang memberi uang fee di awal, karena dipastikan itu ilegal dan merupakan modus menjerat korban untuk diperdagangkan ke luar negeri.

Beberapa ciri-ciri modus TPPO adalah memberangkatkan orang tanpa visa kerja, memalsukan data korban, dan penempatan kerja seringkali berbeda dengan janji di awal. “Kalau sudah tahu seperti itu jangan berangkat. Karena lebih mudah mencegah di Indonesia sebelum berangkat, ketimbang sampai di negara tujuan. Harapan kita jangan tunggu viral, ketika sudah tau ada masalah di dalam negeri jangan berangkat,” tegasnya.

Pemerintah daerah juga disebutnya harus berupaya mencegah hal tersebut, karena NTB juga daerah yang menjadi perhatian. Lantaran banyak masyarakat bekerja ke luar negeri, antara lain seperti ke Malaysia dan Timur Tengah. Sehingga perlu upaya yang optimal agar masyarakat berangkat secara prosedural.

“Itu tadi yang kita usulkan paling tidak ada tiga strategi kita protected off victim, ketika ada kasus pemerintah menyelamatkan. Kedua, penegakan hukum, Ketiga pencegahan, ini harus dari hulu,” tuturnya.

Masalah pekerja migran ini semua berawal dari hulu, oleh karena itu perlu kesadaran ada masyarakat. Selain itu, tata cara penempatan yang prosedural perlu disampaikan ke masyarakat yang mudah murah cepat aman. “Sehingga keluarga kita termotivasi berangkat sesuai dengan jalur yang ada,” imbuhnya. (dpi)

- Advertisement -

Berita Populer