Mataram (Inside Lombok) – Rencana pembangunan kereta gantung Rinjani menuai pro kontra. Di samping dampak investasi yang direncanakan oleh investor asal Tiongkok itu diyakini meningkatkan pergerakan ekonomi masyarakat dan sektor pariwisata, ada persoalan dampak lingkungan terutama dari sisi kehutanan yang masih menjadi pertanyaan.
Jika rencana investasi tersebut benar-benar terealisasi, dampak terhadap kurangnya luasan vegetasi hutan yang dilintasi kereta gantung menjadi perhatian utama pengamat dan aktivis lingkungan. Terlebih proses analisis dampak lingkungan (Amdal) antara investor dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB tengah bergulir.
Ketua Wanapala NTB, Arie Syahdi Gare ikut menyuarakan kegelisahannya terkait rencana investasi kereta gantung di hutan sekitar Rinjani. Rencana pemerintah untuk mengarahkan investasi itu ke area hutan lindung pun menjadi pertanyaan, antara lain potensi ekonomi dari rencana tersebut; apakah tinggi lintasan kereta gantung akan menyamai Pelawangan Aik Berik; dan seberapa tinggi pancang yang akan dibutuhkan kereta gantung tersebut.
“Itu masih menjadi pertanyaan. Ya mungkin di hutan lindung tidak menyalahi aturan Taman Nasional, tapi saya tidak yakin, pasti dia akan mengusik sekitar Taman Nasional. Apa yang akan dijual dari investasi kereta gantung ini (kalau hanya di hutan lindung milik Pemprov NTB)?” ungkap Arie saat ditemui Inside Lombok beberapa waktu lalu.
Meskipun investasi itu dinyatakan tidak akan merusak hutan lindung yang dikelola Pemprov NTB pun tidak akan masuk ke wilayah Taman Nasional Gunung Rinjani, pihaknya menyangsikan pernyataan pihak terkait bahwa tidak akan ada perubahan ekologis yang signifikan dari rencana investasi kereta gantung Rinjani.
Pasalnya, dimulai dari dusun batas hutan kemasyarakatan (HKM) di Batukliang Utara sampai batas Taman Nasional didominasi vegetasi perkebunan. Terlebih jika berbicara tentang sumber air, kondisinya disebut Arie saat ini sudah parah, di mana debit mata air sudah berkurang.
“Apalagi dengan dibuatkan pancang tiang kereta (gantung), ya secara tidak langsung mengurangi luasan vegetasi. Berapa banyak tiang yang akan digunakan? Kami dari pecinta alam itu saja yang dipertanyakan,” ungkapnya.
Diterangkan, HKM yang direncanakan menjadi lokasi jalur kereta gantung memang saat ini telah berubah menjadi kebun. Kondisi itu pun telah mempengaruhi ketersediaan air di area tersebut. Jika ditambah dengan kereta gantung Rinjani dan aktivitas kepariwisataan lainnya yang akan mengikuti, dikhawatirkan akan semakin merusak lingkungan.
Untuk itu, Arie menyangsikan kereta gantung Rinjani akan memiliki daya tarik jika hanya mengandalkan jalur di area HKM di Desa Karang Sidemen, Batukliang Utara, tanpa mengganggu kawasan Taman Nasional yang berbatasan dengan HKM tersebut.
“Sekarang belum ada blak-blakan dari investor, dari partisipasi publik yang di 2019 kita mau dilibatkan (dalam pembahasan rencana investasi tersebut), tapi sampai sekarang tidak ada,” ujarnya.
Alasan lain pihaknya menolak rencana investasi kereta gantung itu, adalah dibukanya pintu investasi yang lebih besar lagi di area hutan, sehingga sangat berpotensi merubah ekologi hutan di NTB atas nama pariwisata.
“Kalau sudah ada investor yang tertarik, maka akan ada investor lainnya yang datang lagi. Lombok ini pulau kecil, dengan kapasitas SDM dan SDA (yang ada saat sekarang) ini perlu di pertimbangkan,” katanya.
Arie menilai, kereta gantung tersebut akan lebih menguntungkan semua pihak jika dibangun di kawasan pesisir. Terutama dengan lanskap yang sudah jelas, jika bisa dikembangkan untuk mendukung tempat pengembangan wisata lainnya seperti di Mandalika dan tempat wisata lainnya di jalur tersebut.
“Kenapa harus lanskapnya berada di vegetasi hutan? Yang mana mata air sudah berkurang setengahnya. Sebelumnya di 2014 sekitar 200 (mata air), kini sudah setengah,” jelasnya. (dpi)